Langsung ke konten utama

Jalan Panjang Membangun Kesadaran Politik Generasi Z Jelang Pemilu 2024



Komposisi penduduk atau masyarakat Indonesia hari ini tidak hanya terdiri atas generasi X (kelahiran 1965-1980) dan generasi Y (kelahiran 1981-1996) tetapi juga generasi zillenial atau gen Z (kelahiran 1997-2012). Generasi Z merupakan golongan generasi yang lahir dan dibesarkan di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Realitas hidup generasi Z memang tidak dapat dilepaspisahkan dari kemajuan teknologi yang ada saat ini.

Bahkan diskursus tentang generasi Z tidak pernah terlepas dari perkembangan serta kemajuan teknologi yang terjadi. Artinya, membicarakan generasi Z sama halnya dengan membicarakan perkembangan serta kemajuan teknologi. Generasi Z dan kemajuan teknologi seperti berada pada koridor yang tak beda. Ciri paling utama dari generasi Z yakni kesehariannya yang amat sukar bahkan tidak bisa dilepaspisahkan dari ponsel pintar serta perangkat teknologi lainnya.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia hingga September 2020 tercatat sebanyak 270,20 juta jiwa. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 32,56 juta jiwa dibandingkan dengan hasil survei 10 tahun sebelumnya. Data tersebut juga menunjukkan bahwa penduduk Indonesia hari ini didominasi oleh generasi Z dan generasi Millenial, dengan persentase sebanyak 27,94% adalah generasi Z dan 25,87% merupakan generasi Millenial (Kompas.com edisi 22 Januari 2021).

Jelang Pemilu 2024, eksistensi generasi Z tengah disorot berbagai pihak. Persentase mereka yang mengungguli jenis generasi lain di Indonesia tentu menjadi ladang potesial yang akan diperebutkan oleh para peserta Pemilu nantinya. Tak heran jika mayoritas peserta Pemilu tengah berdandan seapik mungkin demi mendapat dukungan penuh dari generasi Z.

Melihat kenyataan yang demikian, tak sedikit orang_khususnya mereka yang dari generasi terdahulu_merasa pesimis dengan generasi Z. Sikap pesimis tersebut terutama lahir karena generasi Z memiliki beberapa kelemahan. Generasi Z yang hari-harinya hampir pasti dihabiskan dengan berselancar di media sosial dinilai sebagai generasi yang malas. Betapa tidak, kenikmatan yang ditawarkan gawai selalu berhasil membuat generasi Z terlena.

Keterlenaan tersebut membuat generasi Z mengesampingkan hal-hal yang sebenarnya jauh lebih penting dan jauh lebih bermanfaat untuk dilakukan. Ambil misal, seseorang yang lebih memilih untuk terus bermain game online ketimbang menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Dalam contoh lain, tak sedikit generasi Z yang berhasil dipancing oleh “pion-pion” asing seperti drama Korea. Sebagai konsekuensi logisnya, mereka lebih memilih menonton drama tersebut hingga berjam-jam lamanya dan lupa akan waktu biologis tubuh (waktu untuk makan, tidur, terbangun, dan lain-lain).

Pernyataan bahwa generasi Z sebagai generasi yang malas tentu bukan merupakan suatu generalisasi yang keliru. Realitasnya memang demikian. Terlalu akrab dengan seperangkat peralatan teknologi nyatanya hanya akan menimbulkan kemesraan berdampak negatif yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Selain dinilai sebagai generasi yang malas, generasi Z juga kerap dicap sebagai generasi galau. Kegalauan yang dialami generasi Z lebih merupakan konsekuensi yang pasti terjadi sebab terlalu banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di media sosial. Harus diakui, selain mengakibatkan rasa malas pada penggunanya perangkat teknologi canggih juga bisa membuat penggunanya menjadi galau.

Hal lain dari generasi Z yang cukup menyita perhatian publik ialah kelakuan mereka yang ingin serba instan. Kelakuan serba instan tersebut populer dengan sebutan mental instan. Secara sederhana mental instan dipahami sebagai prilaku yang ingin serba gampang dalam menyelesaikan sesuatu.

Persisnya generasi Z tergolong generasi yang cenderung bermental instan. Hampir semua generasi Z selalu mencari jalan pintas untuk keluar dari problem tertentu atau untuk menyelesaikan suatu hal. Mereka akan selalu memilih menapaki jalan pintas yang sebenarnya merupakan pilihan beresiko sebab persentase dampak negatifnya lebih besar ketimbang dampak positifnya.

Prilaku mental instan sangat kentara dalam hal menyelesaikan tugas-tugas sekolah, baik sebagai mahasiswa maupun sebagai siswa di sekolah menengah. Perbandingannya, sembilan dari sepuluh generasi Z memilih untuk menyelesaikan tugasnya dengan memanfaatkan aplikasi yang terdapat di ponsel pintar mereka ketimbang menyelesaikannya dengan mengandalkan kemampuan analisis individu.

Akibatnya, mereka akan malas berpikir dan sudah barang tentu terjadi ketergantungan pada aplikasi tersebut dalam hal penyelesaian tugas-tugas selanjutnya. Memang dampak positifnya ada pada efektivitas penyelesaian tugas. Besar kemungkinan tugas tersebut dikerjakan dengan benar dan terjawab dengan tepat. Tetapi dampak negatifnya tentu harus dipertimbangkan juga. Sebab tidak hanya akan mengakibatkan ketergantungan bagi penggunanya, segala kemudahan yang ditawarkan oleh perangkat teknologi juga akan mengakibatkan penurunan daya juang dan kemampuan menganalisis dalam diri generasi Z.

Segala problem yang terjadi dalam realitas hidup generasi Z menjadi tantangan tersendiri yang harus diberi perhatian lebih oleh pihak yang ingin meningkatkan kesadaran serta partisipasi positif dari generasi Z pada Pemilu 2024 nanti. Meningkatkan kesadaran serta partisipasi politik generasi Z jelang Pemilu 2024 nyatanya bukan merupakan pekerjaan yang enteng-enteng saja untuk dilakukan.

Lebih jauh, meningkatkan kesadaran politik generasi Z jelang Pemilu 2024 diperlukan kerja keras serta sinergisitas dari berbagai pihak. Orang tua, keluarga, dan pemerintah termasuk dalam pihak yang dimaksud oleh penulis. Orang tua dan keluarga berperan dalam melakukan pembatasan semaksimal mungkin bagi generasi Z dalam hal penggunaan gawai. Pembatasan tersebut tentu dilakukan sambil tetap meminimalisir dampak negatif seperti frustasi, stres dan dampak buruk lainnya yang diakibatkan pembatasan tersebut.

Sementara itu, pemerintah berperan dalam hal memberikan edukasi politik. Edukasi politik diberikan dengan intensi utama agar generasi Z memiliki bekal yang mumpuni untuk terlibat dalam pesta politik tahun 2024. Artinya, agar generasi Z tidak salah dalam memilih para peserta Pemilu yang nantinya akan menjadi aspirasi mereka di Senayan.

Segala usaha yang sudah dilakukan pemerintah sejauh ini sepertinya perlu dievaluasi kembali lantaran tidak memberikan dampak yang signifikan. Buktinya, masih banyak generasi Z yang kurang meminati bidang politik. Mereka cenderung bersikap bodoh amat dengan segala hal yang pada dasarnya membicarakan seluk beluk dunia perpolitikan. Hanya ada segelintir orang saja yang aktif melibatkan diri dalam diskusi-diskusi seputar dunia politik. Inilah yang menjadi kendala utama dalam meningkatkan kesadaran serta partisipasi politik generasi Z.

Lantas apa yang mesti dilakukan? Penulis bermaksud menawarkan salah satu solusi yang pada galibnya dapat dijadikan sebagai alternatif untuk meningkatkan kesadaran serta partisipasi positif generasi Z pada Pemilu 2024. Hemat penulis, generasi Z yang banyak menghabiskan waktunya untuk berselancar di media sosial harus diedukasi melalui konten-konten kreatif edukatif. Pemerintah dituntut untuk mampu memproduksi konten-konten yang mampu mengedukasi generasi Z, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan kesadaran politik.

Meningkatkan kesadaran politik generasi Z bukan merupakan suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Peningkatan kesadaran politik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila ada kerja keras sekaligus sinergisitas dari berbagai pihak. Lebih jauh kesadaran politik tersebut akan benar-benar terwujud setelah melalui jalan panjang dengan lika-likunya sendiri.



*Tulisan ini meraih juara ketiga dalam lomba menulis opini dengan tema "Kesadaran Politik Generasi Z" kategori mahasiswa. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...