Langsung ke konten utama

Air Mata Bahagia Mama Rosalina


Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka.

Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT.

Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada Kamis, 16 Maret 2023 pukul 16.41 WIB.

Beberapa menit sebelum acara dimulai, Auditorium A301 Universitas Katolik Widya Mandala Kampus Dinoyo mulai dipadati oleh orang tua dan mahasiswa. Panitia penyelenggara acara tampak sibuk melayani tamu-tamu yang datang, termasuk mahasiswa calon wisudawan dan wisudawati. Saya dan tim jurnalis Lensafikom.com memilih untuk terlebih dahulu masuk ke dalam ruangan.

Di dalam ruangan Auditorium A301 (tempat diadakannya acara), saya memilih mengamati proses berlangsungnya acara dari kursi paling belakang. Pandangan saya kemudian fokus pada sepasang suami istri yang terlihat sudah tak muda lagi. Dari perawakan dan penampilan fisik mereka, tampaknya mereka bukan orang asli Surabaya. Bukan juga orang asli Jawa. Ciri fisik mereka menjadi petunjuk yang membuat saya yakin bahwa mereka berasal dari timur Indonesia.

“Permisi mama. Saya salah satu tim jurnalis Lensafikom.com yang meliput jalannya acara ini. Saya bermaksud untuk mewawancarai Mama setelah acara selesai. Boleh saya minta kesediaannya, mama?” saya memberanikan diri berbicara setelah mendatangi tempat duduk suami istri yang sebelumnya mencuri perhatian saya. Sebuah kebetulan paling menguntungkan, sepasang suami istri itu duduk di deretan kursi yang tak jauh dari tempat duduk saya.

“Ohhh iya anak. Boleh sekali” jawab ibu itu singkat dengan logat khas Indonesia Timur. Keyakinan saya semakin kuat. Ibu yang akan menjadi narasumber saya ini pasti berasal dari daerah Indonesia Timur, tempat asal saya juga.

"Melihat Mama Rosalina dari dekat saya seperti melihat tubuh yang tak kalah sekalipun berkali-kali diperhadapkan dengan masalah."
⸺⸻

Singkat cerita, rangkaian acara Farewell Party pun selesai. Saya melakukan wawancara dengan Mama Rosalina tak jauh dari Auditorium A301. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab dengan sangat jelas oleh Mama Rosalina. Sebagaimana umumnya sosok ibu, Mama Rosalina adalah ibu yang dengan sangat baik menyimpan segala kisah dalam hatinya. Kisah-kisah itu kemudian diceritakan dengan sangat detail ketika saya mewawancarainya.

Mama Rosalina ketika sedang diwawancarai. Sumber foto: Dokumentasi Lensafikom.com.

Kerutan-kerutan di wajahnya adalah saksi bisu perjuangan hidup yang luar biasa. Kerutan-kerutan itu menjadi garis kenangan yang selalu berhasil menunjukkan betapa hidup semata-mata adalah tentang perjuangan tak selesai. Melihat Mama Rosalina dari dekat saya seperti melihat tubuh yang tak kalah sekalipun berkali-kali diperhadapkan dengan masalah.

“No, Angel (anak Mama Rosalina yang akan diwisuda) itu bukan lahir dari orang tua yang pintar. Kami orang tua yang biasa-biasa saja. Ketika mengetahui kalau Angel menyelesaikan kuliahnya dalam kurun waktu tiga setengah tahun, kami tentu saja bangga sekali. Terharu sekali, No” Mama Rosalina berbicara sambil membetulkan posisi kaca mata yang dikenakannya.

“Mama, apa cerita menarik yang tidak pernah mama lupakan selama Kak Angel kuliah?” Saya kembali bertanya. Dengan segera pertanyaan saya langsung dijawab oleh Mama Rosalina.

“Kemarin pas tiba di Angel punya kos itu mama menangis, No. Kosnya tidak begitu luas. Tidak ada AC juga di situ. Mama bayang betapa anak mama (Angel) berjuang dengan keadaan seperti itu. Prestasinya sangat memuaskan” Mama Rosalina berhenti sejenak. Ia melepaskan kaca mata yang dikenakannya. Menyeka air mata yang sudah tak lagi bisa dibendung.

Sampai di titik itu, saya hampir menangis. Mata saya berkedip lebih cepat sebagai usaha menahan air mata. Saya sangat terharu mendengar cerita dari Mama Rosalina. Dalam keadaan apapun, sosok ibu memang selalu mencemaskan anak-anaknya.

“Mama lihat sendiri perjuangan anak mama selama Covid kemarin, No. Jujur mama sangat terharu. Pembatasan-pembatasan akibat Covid sama semakin menguji kegigihan perjuangan anak mama dalam menyelesaikan tugas kuliah. No, tau sendiri toh? Di timur itu serba terbatas. Ditambah lagi pembatasan akibat Covid. Aduh, No susah memang” Mama Rosalina melanjutkan ceritanya.

“Itu sudah, Mama. Tetapi puji Tuhan, Mama, kesuksesan tetap menjadi milik siapapun yang mau berjuang. Keterbatasan bukan alasan yang membuat kesuksesan menjadi jauh. Ini terakhir, Mama. Apa pesan mama untuk kami yang masih berjuang di bangku kuliah?” saya kembali bertanya dengan logat Indonesia Timur, sebagaimana Mama Rosalina.

“No, tetap semangat dalam berjuang. Kalau ada masalah pasti ada jalan keluarnya. Masalah itu ada karena jalan keluarnya juga ada” kata Mama Rosalina mengakhiri pembicaraan kami.


*No adalah panggilan untuk anak laki-laki dalam bahasa Larantuka.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...