Langsung ke konten utama

Tantangan Persatuan Indonesia di Era Milenial

-Indonesia tengah ditantang persatuan dan kesatuannya oleh berbagai problem sosial. Salah satu tantangan yang perlu diwaspadai bersama ialah paham radikalisme. Isu radikalisme menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini.


Radikalisme berasal dari kata radix (dalam bahasa Latin) yang berarti akar. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, secara historis radikalisme merupakan istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk mendukung gerakan radikal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikal berarti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir atau bertindak.


Persisnya, untuk konteks sekarang persatuan dan kesatuan Indonesia sedang dirongrong oleh bahaya radikalisme yang kian mencemaskan. Tidak dapat dimungkiri bahwa paham radikalisme telah berhasil masuk dan mempengaruhi pola pikir serta tata laku masyarakat Indonesia. Alhasil, muncul golongan masyarakat radikal yang berpotensi memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, golongan masyarakat radikal merupakan aktor utama yang melakonkan peran sebagai pemecah persatuan bangsa.


Lebih parah lagi, lebih dari setengah kaum milenial kita rentan terpapar radikalisme. Survei terbaru yang dilakukan oleh BNPT memaparkan bahwa 85 persen kaum milenial rentan terpapar radikalisme yang saat ini justru banyak tersebar melalui platform media sosial (cnnindonesa.com, 15 Juni 2021). Padahal, negara kita tengah mengalami sebuah perubahan besar yakni pergeseran generasi tua (generasi Y) ke generasi milenial (generasi Z). Hal ini disampaikan secara langsung oleh guru besar FIA UI dan ketua tim independen reformasi birokrasi nasional, Eko Prasojo (Kompas edisi Selasa, 19 Januari 2021).


Kaum milenial seolah telah terbius oleh perkembangan teknologi yang semakin canggih sehingga terjerambab dalam kubangan kenikmatan belaka. Survei yang dilakukan oleh BNPT telah membuat segelintir orang merasa skeptis dengan kemampuan milenial dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di eranya. Alih-alih menyebut diri sebagai agent of change, kaum milenial justru menjadi golongan paling rentan terpapar paham pemecah persatuan, semisal paham radikalisme.


Skeptisisme golongan masyarakat tertentu terhadap keberhasilan kaum milenial dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di eranya lebih karena generasi milenial menunjukkan praktik hidup yang sangat tidak diharapkan. Kaum milenial tidak menyadari posisinya sebagai agent of change yang diharapkan mampu membawa perubahan positif seperti menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta menjaga kestabilan demokrasi nasional.


Praktik hidup kaum milenial telah berada pada koridor lain dari yang diharapkan oleh masyrakat. Oleh karena itu, tak berlebihan bila dikatakan bahwa praktik kehidupan kaum milenial sungguh miris dan sangat memprihatinkan.


Jalan Keluar 


Problem tersebut banyak pihak, baik pemerintah maupun swasta telah melakukan berbagai upaya demi meminimalisir dampak negatif. Upaya-upaya yang telah gencar dilaksanakan misalnya peningkatan literasi, khususnya literasi digital dan literasi baca tulis. Hal ini penting dan sangat mendesak untuk dilakukan sebagai suatu bentuk kesadaran bahwa daya pikir kritis-analitis masyarakat dapat menjadi semacam tameng yang mampu menangkal berbagai paham yang mengakibatkan disintegrasi dan berujung pada konflik dan pertikaian. Selain itu, peningkatan literasi juga pada gilirannya akan mampu membentuk manusia Indonesia yang perseptif dan bukan fatalis dengan daya pikir kritis-analitis yang mapan.


Adapun upaya lain yang tengah dilakukan ialah memberikan pemahaman tentang pancasila kepada masyarakat Indonesia dalam bentuk sosialisasi bersama antara masyarakat dan pihak terkait sebagai bentuk pencegahan dini dari paham radikal. Berbagai upaya tersebut memang telah menunjukkan gejala keberhasilannya sebab wakil presiden republik Indonesia baru-baru ini menyebutkan bahwa indeks potensi radikalisme mengalami penurunan. Namun demikian, wakil presiden tetap mengimbau agar masyarakat tidak berpuas diri akan hal tersebut. Artinya, masyarakat tetap diminta untuk terus berwaspada sebab paham radikalisme dapat meningkat di waktu yang sukar untuk diprediksi.


Dalam tulisan sederhana ini, penulis menawarkan sekurang-kurangnya dua solusi yang dirasa mampu untuk mengatasi problem yang telah diuraikan diatas. Pertama, perlu komitmen bersama. Hemat penulis, peningkatan literasi serta beberapa upaya lainnya yang telah dilakukan barang tentu belum menjadi tameng yang kuat untuk menangkal paham radikal yang sangat boleh jadi memecah persatuan bangsa kita.


Lebih jauh, menangkal paham radikal perlu menjadi tanggung jawab kolektif masyarakat. Masyarakat mesti sadar bahwa menjaga persatuan dan keutuhan bangsa merupakan tugas bersama. Karena itu, perlu komitmen bersama sehingga dalam menangkal paham radikal serta dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja melainkan juga tugas masyarakat.


Kedua, pemerintah melalui Menkominfo diharapkan mampu menciptakan suatu aplikasi dengan fitur yang menjadi pendeteksi munculnya berbagai paham radikal. Hal ini sungguh mendesak untuk dilakukan mengingat platform media sosial telah menjadi corong masuknya paham-paham yang berdampak negatif. Aplikasi ini tentu saja memudahkan masyarakat dalam mengetahui serta membedakan hal-hal yang sifatnya mengancam persatuan dan kesatuan bangsa kita.


Tindakan yang dilakukan oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini patut diteladani oleh semua pemimpin (wali kota, gubernur, dan lainnya). Dalam mencegah tersebarnya paham radikal di daerahnya, Tri Rismaharini menggandeng Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) setempat meluncurkan sebuah aplikasi yang mampu memantau aktivitas masyarakat Surabaya di lingkungannya masing-masing (Jawa Pos, 31 Mei 2018).


Dengan demikian, pendeteksian terhadap keberadaan paham radikal sangatlah mudah. Tentu bukan suatu hal yang salah apabila pemerintah pusat mewajibkan semua masyarakat untuk menggunakan aplikasi yang sama. Atau lebih baik lagi apabila pemerintah pusat melalui menkominfo meluncurkan aplikasi baru yang lebih canggih. Kemajuan teknologi yang semakin pesat memungkinkan pemerintah pusat untuk meluncurkan aplikasi tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...