Langsung ke konten utama

Aku Tuan atas Gawai (?)

 Di era kontemporer realitas hidup manusia kian sukar untuk dilepaspisahkan dengan pelbagai perangkat teknologi canggih sebagai buah dari kemajuan cara berpikir manusia. Lebih lagi pandemi Covid-19 yang hingga hari ini masih menjadi momok yang belum terselesaikan dan masih terus membayangi hari-hari kita.

 Kemunculan pandemi ini berhasil meluluhlantakkan segala lini kehidupan manusia. Alhasil ada sekian banyak perubahan yang telah dan tengah terjadi. Sebagai misal, dalam bidang pendidikan. Pandemi yang merebak sejak penghujung tahun 2019 ini menjadi alasan utama dicanangkannya model atau sistem pendidikan yang baru.

 Sistem pendidikan baru yang diterapkan oleh pemerintah pada dasarnya bermaksud untuk memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19 sekaligus cara ampuh dalam meminimalisasi jumlah korban yang akan terinfeksi. Dalam praktiknya, model pendidikan baru yang familiar dengan sebutan model learn from home justru membawa sekian banyak dampak negatif.

 Model pendidikan learn from home mengharuskan para sevitas akademika untuk memanfaatkan kemajuan perangkat teknologi sebagai sumber belajar. Hal ini lebih karena model pembelajaran learn from home sangat membatasi interaksi langsung antara para siswa dan para guru serta para siswa dengan sesama siswa.

 Tak hanya itu, perubahan lain akibat pandemi Covid-19 misalnya penerapan kebijakan baru dalam dunia kerja. Selama pandemi sistem dalam dunia kerja mengalami transisi ke sistem yang dikenal dengan sebutan work from home. Persisnya work from home sangat mirip dengan sitem learn from home yang diterapkan dalam dunia pendidikan.

 Pada dasarnya kedua perubahan yang telah disebutkan di atas sama-sama mengharuskan masyarakat_baik sevitas akademika maupun para tenaga kerja_untuk memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai penunjang aktivitas sehari-hari. Sebagai konsekuensi logis dari hal tersebut, penetrasi pengguna internet Indonesia saat ini berjumlah 73,3 persen, naik dari 64,8 persen pada 2018. Hal tersebut disampaikan sendiri oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam laman resmi Menkominfo, kominfo.go.id.

 Dalam kacamata penulis, naiknya jumlah pengguna internet membawa sekian banyak dampak buruk. Salah satu dampak buruk yang paling kentara ialah rendahnya kesadaran atas kepemilikan gawai.

 Harusnya disadari bahwa yang menjadi pemilik atau tuan atas gawai ialah ‘aku’ dan bukan sebaliknya. ‘Aku’ adalah subjek dan gawai adalah objek. Maka ‘aku’ berposisi sebagai tuan yang memegang kendali penuh atas gawai itu sendiri.

 Namun demikian, jika kita sedikit menengok realitas yang terjadi, kita akan diperhadapkan pada suatu ironi. Sungguh miris, dalam realitanya gawai terkesan menjadi tuan yang memegang kendali penuh atas penggunanya. Penulis sampai pada generalisasi yang demikian tentu bukan tanpa alasan.

 Banyak pengguna gawai yang kesannya justru dikontrol oleh gawai. Misalnya berselancar di media sosial hingga berjam-jam dan hanya akan berhenti jika arus gawai yang digunakan memberikan tanda-tanda akan segera low. Hal ini mengindikasikan bahwa seolah-olah yang menjadi tuan atas pengguna ialah gawai. Gawai seolah berposisi sebagai subjek dan pengguna adalah objek.

 Persisnya hal inilah yang dijadikan oleh penulis sebagai pijakan hingga sampai pada generalisasi bahwa gawai terkesan menjadi tuan yang memegang kendali penuh atas penggunanya. Realitas yang demikian tentu patut untuk diperhatikan secara kolektif sebab jika terus dibibarkan maka bukan tidak mungkin muncul dampak negatif lain yang terbilang lebih ekstrem, misalnya kecanduan teknologi. Lantas apa yang perlu kita perbuat untuk menyikapi realitas tersebut?

 Hemat penulis, hal pertama dan hal paling utama yang perlu diperbuat ialah membangun kesadaran dalam diri. Setiap pribadi mesti menyadari eksistensinya sebagai pemilik atau tuan atas gawai. Kesadaran atas kepemilikan gawai mesti dibangun agar setiap pribadi menjadi lebih memahami eksistensinya jika berhadapan dengan gawai.

 Penulis tak bisa membayangkan betapa bijaknya pengguna gawai jika memiliki kesadaran bahwa yang sebenarnya memegang kendali penuh atas perangkat gawai ialah dirinya sendiri. Kesadaran atas kepemilikan gawai menjadi jalur yang harus ditempuh untuk dapat keluar dari beberapa problem akibat menggunakan gawai, misalnya kecanduan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...