Langsung ke konten utama

Cerita-cerita Perempuan Malam

Di kota kami, ada banyak bangunan megah yang punya nilai sejarah tinggi. Bangunan itu ada yang menjadi saksi kehadiran Katolik. Ada yang jadi saksi perang melawan penjajah di tahun-tahun silam. Ada juga yang baru dibangun. Itu yang jadi saksi betapa kejam hidup dari hari ke hari. Betapa mendapatkan uang tidak semudah menghabiskan waktu luang.

Selain punya banyak bangunan bersejarah, kota kami juga dijamin bisa membuat betah. Nginap semalam dua malam itu sudah cukup untuk menggores kenangan-kenangan aduhai yang tak akan pernah dilupakan. Apalagi dinginnya yang setiap saat membuat kau menggigil. Dingin yang bisa jadi membuatmu tak ingin lepas dari rangkulan orang-orang terkasih. Misalnya mama, papa, keluarga dan lain-lain. Yang aku maksud dengan yang lain-lain ialah kekasih atau sebutan gaulnya ‘pacar'.
Tetapi ini bukan cerita tentang kota kami yang begitu membuat candu. Ini cerita tentang sisi lain kota kami. Ini cerita tentang keadaan kota ketika malam. Ini cerita dari perempuan malam. Perempuan malam kasarnya disebut pelacur. Tetapi kau perlu hargai mereka. Setidaknya dengan menyebut mereka sebagai “Perempuan Malam”

***

Ia menjual diri dengan tarif paling kurang tiga ratus ribu rupiah sekali naik. Tiap malam begitu. Dengan lelaki yang tak selalu sama. Lelaki yang tak melulu itu. Kadang, ketika awal bulan, ia bisa mendapat hingga lima ratus ribu rupiah sekali naik.
Kau tinggal kalkulasi sendiri saja. Bayangkan jika satu malam ada sekitar lima hingga sepuluh laki-laki yang bertamasya di tubuhnya yang aduhai itu. Dan jika malam di awal bulan, dimana tarif masih terbilang cukup tinggi, mungkin ia bisa dapat tiga jutaan satu malam.

Tetapi sayang sekali. Dari segi usia setidaknya ia masih belia. Memang masih cukup puber untuk hal-hal yang demikian. Ia sebenarnya gadis dari kampung yang kebetulan memilih untuk bersekolah di kota kami (lebih tepatnya kota kita). Ia bukan perempuan kota seperti yang tampak dari fisiknya.

Aku akui, dia perempuan cantik. Alisnya mirip alis perempuan dari negeri gingseng. Rambutnya hitam legam. Lurus tanpa diluruskan oleh alat bantu manapun. Ia manis sekali. Di kedua pipinya ada lesung yang membuatmu ataupun aku atau siapa saja yang melihat seperti tak ingin berhenti melihatnya.

Kekasihku bahkan pernah melarang aku memandang perempuan itu dalam waktu yang cukup lama. Ketika aku melanggar aku bahkan kena umpat: “Ah! Dasar laki-laki. Mata keranjang. Dari mata selalu ke ranjang tidur. Cuih!”

Aku berkali-kali harus meminta maaf kepada kekasihku ketika tak mampu memandang perempuan itu dalam waktu yang singkat. Ini murni pujian. Terlepas dari posisinya yang adalah perempuan malam, ia perempuan cantik. Tetapi kekasihku lebih cantik.

Sudahlah, itu hanya pengantar. Ada baiknya sekarang kita masuk ke cerita inti. Tapi bukan aku yang akan bercerita. Dengarkan sendiri ceritanya. Cerita dari seorang perempuan malam. Seperti yang aku bilang, jangan menyebutnya pelacur. Ia punya alasan untuk semua yang ia lakukan.

***

Setiap malam aku begitu. Tempat tinggalku selalu dikunjungi lelaki. Aku tak sendiri. Ada tiga orang perempuan di tempat tinggalku. Sebenarnya kami tinggal bertiga saja. Tempat tinggal kami ada di perempatan. Belok kiri setelah lampu merah. Ada banyak himpunan bambu. Berhenti di situ. Tepat di sebelah atas himpunan bambu itu ada gedung yang ukurannya begitu-begitu saja. Itu tempat tinggalku.

Seperti yang sudah aku katakan. Sebenarnya kami hanya tinggal bertiga saja di kos itu. Tetapi setiap malam, atau setidaknya tiga malam dalam satu minggu, kos kami selalu dikunjungi lelaki dari berbagai macam latar belakang. Beberapa dari mereka adalah sopir-sopir taksi. Beberapa diantaranya lelaki bujang yang hingga usia uban belum juga menemukan jodohnya.

Sesuai pertanyaanmu, kami memang tiga orang saja yang mendiami kos itu. Semuanya perempuan. Usia kami ketika itu kurang lebih sama. Usia kelas dua SMA, sekitar enam belasan tahun.
Sudah aku kira, kau pasti akan terus bertanya. Baiklah, perihal sejak kapan aku mulai menjalankan profesi itu, akan aku ceritakan. Sebenarnya waktu itu aku tidak pernah berniat untuk menjadi perempuan malam. Bukan tidak ada niat. Lebih tepatnya aku tidak tahu kalau ada profesi seperti itu untuk perempuan.

Kau jangan berpikir bahwa aku khilaf ketika mulai bekerja demikian. Tidak. Tidak sama sekali. Aku melakukan itu dengan sadar. Bahkan kadang-kadang dengan penyesalan yang teramat dalam. Tetapi sudahlah. Aku tidak punya jalan lain waktu itu. Mau tidak mau aku harus menjual apa yang berharga dari tubuhku yang juga dimiliki oleh wanita manapun.

Ketika hendak memasuki semester empat, uang sekolahku macet. Sebenarnya uang sekolahku macet sejak semester tiga. Bapak selalu saja menjawab:
“Bapak sedang tidak punya simpanan. Tahun ini harga kopi kembali merayap. Tidak sesuai dengan kerja keras bapak yang setengah mati. Cengkeh juga demikian. Pokoknya semua saja. Semua yang kita hasilkan. Harganya tidak seperti dulu. Nanti bapak akan bayar. Beri bapak waktu”
Aku tidak bisa berbuat banyak mendengar bapak menjawab demikian. Kampung kami adalah kampung penghasil kopi terbaik. Di kampung kami, tumbuh subur berbagai macam jenis kopi misalnya robusta atau apalagi lainnya. Jika harga kopi turun seperti yang diceritakan bapak, toh mau apa lagi.

Pernah satu kali, aku menyesal karena telah memilih bersekolah di sekolah swasta Katolik. Benar kata orang. Sekolah swasta memang menjadi satu-satunya sekolah yang berkualitas tinggi di kota kami. Tapi biayanya tinggi juga.

Aku ingat baik. Ketika bapak jatuh sakit dan meninggal sebelum tiba di rumah sakit kota, aku semakin takut untuk hidup. Tanpa bapak, apa yang bisa diharapkan. Sebenarnya nyawa bapak masih bisa tertolong seandainya pemerintah bersedia memperbaiki jalan di kampung kami.

Aku yakin bapak pasti masih ada sampai hari ini. Bahkan mungkin masih bisa membaca cerita ini. Tetapi sekali lagi. Jalan di kampung kami rusak parah. Banyak warga yang mati sebelum tiba di rumah sakit kota. Mungkin itu juga menjadi alasan mengapa harga kopi dari tahun ke tahun semakin merayap. Toh, akses jalannya yang begitu sulit dijangkau. Dari tahun ke tahun rusaknya kian parah.

Itu semua menjadi awal dari semua yang aku lakukan. Aku kemudian merasa bahwa hidup ini pelik. Hidup ini tidak pernah pelit sedih. Aku akhirnya bersikukuh untuk melanjutkan pendidikanku. Tentu tidak terlalu mengharapkan uang yang dihasilkan mama sebab uang itu sama sekali tidak cukup.

Di kota ini, aku mulai mencari kerja. Keluar masuk toko untuk menawarkan diri sebagai penjaga toko yang bekerja sehabis jam sekolah. Tepat seperti yang kau pikirkan. Tentu tidak ada yang berani menerima. Tidak ada yang bersedia mempekerjakan aku.

Jujur, aku putus asa sekali. Surat panggilan dari sekolah sudah berjumlah sekitar tiga amplop. Amplop ketiga secara tegas menyatakan bahwa aku akan dikeluarkan dari sekolah jika dalam waktu satu minggu tidak melunasi uang sekolahku yang tunggak sejak semester ketiga. Jumlahnya sekitar dua juta lima ratusan. Aku lupa persis jumlahnya.

Selesai membaca surat itu, aku menangis. Dihadapan kedua temanku yang juga menempati kos yang sama. Ternyata kami punya masalah yang sama. Maklum, anak kampung memang begitu. Uang sekolah sering macet.

Kami bersepakat untuk melakukan apapun asal kami bisa mendapatkan uang. Dari cerita orang, jadi perempuan malam di kota ini penghasilannya terlampau cukup untuk biaya hidup termasuk biaya sekolah. Lalu kami melakukan itu. Mau tidak mau. Terpaksa.

Awalnya kami kesulitan mendapatkan pelanggan. Kami tergolong orang baru yang menggeluti profesi itu. Belum banyak yang mengenal kami. Kami pun mulai mencari pelanggan. Duduk sendiri atau kadang bertiga di jembatan. Berpakaian sebagaimana pelacur kota. Ya, sebut saja pelacur.

Kadang kami menunggu di lampu merah. Usaha kami memang membuahkan hasil seperti yang kami ingin. Pelan-pelan banyak adam yang mulai melirik kami. Mereka memberhentikan mobil di dekat kami. Basa basi sejenak lalu membawa kami ke dalam mobilnya. Satu per satu kami dibawa. Karena tidak ada tempat, praktiknya dilakukan di kos kami.

Malam pertama penghasilan yang aku dapat sungguh membuat aku kagum. Waktu itu awal bulan. Aku dinaiki oleh pegawai bujang yang rela merogoh saku dan mengeluarkan uang hingga lima ratus ribu setelah mengerang puas. Malam pertama aku mendapatkan satu juta rupiah. Tubuhku dijadikan tempat tamasya oleh dua orang pegawai bujang. Masing-masing memberi lima ratus rupiah.

Tiba di sekolah, aku mulai mencicil uang sekolahku. Setoran pertama berjumlah delapan ratus ribu rupiah. Dua ratus ribu rupiahnya aku gunakan untuk memenuhi keperluan pribadi.

Semakin lama semakin banyak yang tertarik dengan tubuhku. Tepatnya tubuh kami bertiga. Satu minggu berlalu. Uang yang aku kumpulkan jumlahnya sudah begitu banyak. Setelah melunasi uang sekolah, sebagiannya aku kirim ke kampung. Untuk biaya pendidikan adik-adikku yang berjumlah dua orang. Juga untuk membantu biaya hidup yang ditanggung mama.

Tapi sayang sekali, belakangan mama bercerita bahwa uang itu sering tidak sampai di tangan mama. Dibawa lari oleh sopir yang tidak tahu diri. Kalaupun tiba di tangan mama, jumlahnya pasti tidak begitu banyak. Semoga dengan membaca cerita ini mama menjadi tahu dari mana aku mendapatkan uang itu. Sebab mama belum tahu sumber penghasilanku

Pekerjaan itu aku teruskan. Bukan aku saja. Teman-temanku juga memilih untuk terus bekerja demikian. Dari satu malam ke malam berikutnya selalu membawa pengetahuan baru bagi kami. Dadaku pernah terluka. Ketika seorang sopir sedang bertamasya. Ia meremas seperti tidak ada belas kasihan. Pokoknya ada banyak lagi suka duka lainnya.

***

Perempuan itu menangis. Meringis. Aku tidak tahu harus berbuat apa agar ia berhenti menangis. Aku memilih diam. Menyaksikannya menangis. Ingin tahu seperti apa jika pelacur menangisi perbuatannya.

Selama sekian menit ia menangis. Pipinya mulai merah. Demikian matanya. Ia tunduk sambil menangis. Menutup tanktopnya dengan sweater yang digantung di sebelahnya. Ia dengan sigap mengenakan sweater itu di tubuhnya. Pelan-pelan dada dan bagian tubuhnya yang biasa terlihat mulai tertutup kembali seperti sebelum ia bekerja sebagai perempuan malam.
Aku berhenti bertanya. Kau juga harus berhenti bertanya. Biarkan ia menangis. Jangan paksa perempuan itu untuk meneruskan ceritanya. Aku juga mulai menundukkan kepala. Menyesal karena telah bertanya kepadanya. Menyesal karena memintanya menceritakan kembali apa yang telah ia lalui.

Perempuan itu mengalihkan pandangannya ke arahku. Menatapku dalam-dalam. Hanya ada kami berdua saja di ruangan itu. Ia menggerakkan kakinya. Meluruskannya ke depan. Badannya terbaring telentang. “Aku sudah cukup” katanya. Kemudian matanya tertutup. Sampai hari ini aku tidak percaya kalau perempuan itu mati setelah aku mewawancarainya.

“Kami sebenarnya tidak pernah mau diwawancarai. Ketika kau menghubungi kami dan mengatakan bahwa kau hendak mewawancarai kami, hanya dia yang bersedia. Tetapi sekitar dua jam sebelum wawancara, ia menenggak racun. Ia ingin mati setelah menjawab semua” kata temannya yang menempati kos yang sama dengannya. Sumpah, aku menyesal mendengar itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...