Langsung ke konten utama

Kendala dan Solusi Mengatasi Hoaks di Era Disrupsi

 Untuk konteks sekarang, kita tengah berada pada era baru yang familiar dengan sebutan era disrupsi. Melansir Tempo.co edisi Sabtu, 22 Mei 2021 era disrupsi diartikan sebagai sebuah era di mana terjadinya inovasi dan perubahan secara besar-besaran dan secara fundamental mengubah semua sistem, tatanan dan landscape yang ada ke cara-cara baru.

 Realitas hidup di era disrupsi dibayang-bayangi oleh berbagai macam problem sosial yang baru yang dipastikan tidak pernah muncul di era sebelumnya. Sebagai misal, problem seputar penyebaran hoaks atau berita palsu.

 Memasuki era disrupsi, hampir pasti sebagian dari masyarakat Indonesia menjadi korban penyebaran hoaks atau berita palsu. Berbagai kasus telah terjadi sebagai akibat dari banyaknya persentase masyarakat yang terprovokasi oleh hoaks.

 Secara sederhana hoaks diartikan sebagai informasi palsu, berita bohong, atau informasi yang telah direkayasa untuk tujuan dan kepentingan pihak tertentu. Hoaks menjadi problem serius yang tengah dihadapi oleh bangsa kita.

 Berbagai pihak telah melakukan berbagai upaya yang pada dasarnya berintensi untuk mengatasi hoaks. Mengatasi hoaks nyatanya memang bukan merupakan sebuah upaya yang enteng-enteng saja untuk dilakukan. Sinergitas dan kerja sama berbagai pihak sangat diperlukan demi mencapai hasil yang sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

 Dalam tulisan ini, penulis bermaksud memaparkan beberapa kendala yang akan dihadapi dalam mengatasi penyebaran hoaks. Selain itu, penulis juga akan memaparkan beberapa langkah solutif yang harus ditempuh sebagai jalan keluar dari problem hoaks.

Kendala Mengatasi Hoaks

 Dalam kacamata penulis, hoaks seringkali menjadi akar dari beberapa problem lain yang telah terjadi. Hoaks bahkan dapat mengancam integrasi serta membahayakan kestabilan demokrasi.

 Penulis menilai upaya mengatasi hoaks sejauh ini seperti pekerjaan menjaring angin. Betapa tidak, upaya tersebut belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilannya. Mirisnya, bahkan lebih banyak lagi masyarakat yang terprovokasi oleh hoaks. Hemat penulis, untuk dapat mengatasi hoaks, hal yang perlu dilakukan pertama-tama ialah mengetahui berbagai kendala yang akan dihadapi. Lantas apa saja kendala tersebut?

 Pertama, ketersediaan berita dalam jumlah yang banyak. Tom Nichols, seorang pakar berkebangsaan Amerika Serikat dalam bukunya yang berjudul “The Death of Expertise” atau “Matinya Kepakaran” memaparkan bahwa sekarang kita tengah berada pada era jurnalisme gaya baru yang lebih canggih.

 Salah satu ciri khas era jurnalisme gaya baru ialah ketersediaan berita dalam jumlah yang banyak. Sebagai konsekuensi logis dari ketersedian berita yang melimpah ruah, masyarakat akan kesulitan dalam membedakan mana berita yang benar dan mana berita yang telah direkayasa oleh pihak tertentu untuk kepentingan pihaknya sendiri (hoaks).

 Kedua, masyarakat yang tidak memiliki tingkat daya pikir kritis yang mapan. Dalam mengatasi hoaks, tingkat daya pikir kritis masyarakat menjadi problem tersendiri. Pada galibnya, mengatasi hoaks bukan menjadi problem yang sukar untuk diatasi apabila kondisi masyarakat turut mendukung.

 Mengatasi hoaks di tengah masyarakat dengan daya pikir kritis yang mapan tentu merupakan hal yang tidak begitu sukar untuk dilakukan. Masyarakat dengan tingkat daya pikir kritis yang mapan akan selalu mempertanyakan kebenaran suatu berita atau informasi. Mereka tidak mudah terprovokasi oleh berita yang kebenarannya masih diberi tanda tanya besar.

 Namun demikian, hal sebaliknya justru akan terjadi bila masyarakat tidak memiliki tingkat daya pikir kritis yang mapan. Mereka cenderung bersikap bodoh amat dalam mengecek kebenaran suatu informasi atau berita. Masyarakat yang demikian berpotensi untuk terjerambab dalam kubangan berita palsu atau hoaks.

Sederet Solusi

 Sebagai jalan keluar dari problem tersebut, penulis akan menawarkan beberapa solusi yang selaras dengan kendala yang dihadapi. Pertama, pemerintah melalui Menkominfo atau pihak terkait perlu meluncurkan sebuah aplikasi dengan fitur yang mampu mendeteksi hoaks. Aplikasi pendeksi hoaks sangat mungkin untuk diluncurkan mengingat perkembangan teknologi yang kian kemari kian canggih.

 Aplikasi dengan fitur yang mampu mendeteksi hoaks sangat membantu masyarakat dalam memastikan kebenaran suatu berita. Terlebih masyarakat kita yang sangat jarang mempertanyakan kebenaran suatu informasi yang didapat.

 Lebih jauh aplikasi ini juga menjadi kebutuhan mendesak masyarakat yang hidup di era jurnalisme gaya baru. Pasalnya, sebelum sampai ke masyarakat suatu berita atau informasi akan disaring atau dideteksi kebenarannya oleh aplikasi tersebut. Dengan demikian, meski hidup di era jurnalisme gaya baru dengan ketersedian sumber berita yang melimpah ruah masyarakat tetap akan dengan mudah membedakan serta memastikan keakuratan suatu berita. Solusi pertama ini menuntut kerja keras dari pihak pemerintah melalui instansi terkaitnya.

 Kedua, membentuk tim khusus atau media khusus anti hoaks. Langkah yang dilakukan oleh tim Tempo media patut diapresiasi. Dalam postingan instagram yang diunggah pada 28 Desember 2021, tim Tempo media memperkenalkan sebuah terobosan baru yang belum dilakukan oleh media lain.

 Terobosan tersebut berupa “Cek Fakta Tempo” yang berfungsi untuk melayani masyarakat yang meragukan kebenaran suatu berita. Sebagai aksi berantas hoaks, Tempo.co menyediakan layanan bagi masyarakat yang ingin memastikan kebenaran suatu berita. Sebagaimana tertulis dalam unggahan tersebut, Cek Fakta Tempo bisa memeriksa pesan, tautan, foto, hingga video yang diduga hoaks.

 Tempo media harusnya menjadi role model bagi media-media lainnya yang ada di tanah air. Mengatasi hoaks akan lebih mudah bila masing-masing media memiliki tim khusus yang bertujuan untuk memastikan kebenaran suatu berita sebelum akhirnya berita tersebut dikonsumsi masyarakat. Masyarakat barang tentu akan dimudahkan sebab bila berhadapan dengan sebuah berita yang kebenarannya masih diragukan, masyarakat memiliki pihak yang dapat dijadikan sebagai tujuan pengaduan atau pengecekan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...