Langsung ke konten utama

Misa Pertama


Misa Pertama

Misa pertama diadakan dalam waktu dekat

Ia sudah ada di bangku

Di dalam rumah Tuhannya

 

Ia berlutut

Mengucap syukur buat segala rahmat yang diterima

Ia menundukkan kepala

Sadar bahwa dosanya sampai di kepala

 

Tangannya terkatup

Mata tertutup

Kata-kata meletup dari bibirnya yang juga tertutup

 

Ia mencari Tuhan dalam hening sekali

Mulai berbicara

Meski mulutnya busuk tetapi Tuhannya lebih rapat mendengar

Matanya penuh abu dosa

Tapi Tuhan menatap dalam-dalam

Kerongkongannya seperti kerangkeng dosa

Tapi Tuhan justru memeluknya

 

“Engkau Tuhan yang panjang sabar

Amin.”

 

Ia membuka mata

Membuka semua yang tertutup dan terkatup

Misa dimulai.

 

 

 

Ruang Doa

 

/1/.

Kau memasuki ruang doa sementara hari masih belia

Kau duduk di pojok

Di tempat paling sunyi bagi kecamuk jiwa

Kau berdiam diri.

 

/2/.

Hanya ada engkau dan jiwamu

Selebihnya lengang

Ruang doa sedang kosong

Kau tundukkan kepala

Mendoakan saudara seamin

 

/3/.

Kau memasuki ruang doa

Memasuki relung jiwa terdalam

Di dalamnya kau tak hanya berdoa

Tetapi juga berdosa

Itu rahasia yang kau rawat dan kau besarkan bersama jiwamu sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Misa

Setelah lama tak menghadiri misa,

Hari ini aku menemukan Tuhan sedang menangis dalam Tabernakel.

 

 

 

 

 

Katedral

Tiba di pintu Katedral itu,

Tubuhku mendadak menjadi abu

Bertebaran di bangku-bangku

Beberapa diantaranya terbang sampa ke altar

 

Berada di dalam Katedral seperti sedang dalam ruang pengadilan

Mengadili diri

Memisahkan salah dan benar

Memohon Tuhan memberi sembuh:

“Tetapi bersabdalah saja

Maka saya akan sembuh”

 

Setelah meninggalkan Katedral aku mengenakan tubuh baru

Tubuh yang bimbang dan siap disergap dosa baru.

 

 

 

 

 

 

 

 

Minggu

Di dalam rumah-Mu

Aku duduk di bangku paling akhir

Menundukkan kepala tetapi tetap berpikir

 

Tuan,

Aku tidak sedang memikirkan-Mu

Sungguh.

 

 

Trotoar

 

/1/.

Tidak banyak orang melintas di trotoar depan Gereja itu

Apalagi menyempatkan diri sejenak istirahat di dalam Gereja

Memang akhir-akhir ini orang-orang seperti dalam sibuk.

 

/2/.

Ada yang mendadak saling genggam

Ketika hendak menyeberang

Kita memilih berjalan di trotoar kanan jalan

Trotoar yang sering sepi

Yang aku maksud ialah trotoar yang paling dekat dengan rumah-Mu

 

/3/.

Aku harap tidak hari ini saja

Kau menggenggam tangan dan menarikku ke tempat paling sunyi

Memberi aba-aba kalau engkau hendak bertahan

Aku harap tidak hari ini saja

Isyarat-isyarat sederhana itu telanjang di mataku.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...