Langsung ke konten utama

Persoalan-persoalan Bapak

 Bapak memang jarang tidur tepat waktu. Kadang-kadang beliau berjaga sendiri saja hingga tengah malam. Menghabiskan dua hingga tiga batang rokok yang tak sekali membuatnya menderita. Bapak seperti hilang sadar; sebenarnya batang-batang rokok yang ia sesap hampir tiap malam, menyesap sepersekian liter keringat yang mengucur deras dari tubuhnya.

 Tetapi bapak melakukan semua itu bukan tanpa alasan. Yang pasti ada yang sedang ia pikirkan sampai-sampai lupa akan waktu tidur. Bapak memang banyak menyimpan rahasia. Irama nafasnya bahkan mengandung rahasia yang sama sekali tidak dapat diketahui oleh siapapun juga.

***

 “Bapak, beban apalagi yang sedang engkau pikirkan?” suara ibu lembut menyadarkan bapak dari lamunan panjangnya suatu pagi. Ibu yang sudah puluhan tahun hidup mendampingi bapak seperti sangat memahami setiap isyarat wajah bapak. Ibu paling mengerti dan paling memahami bapak.

 “Aku tidak sedang memikirkan beban apapun, bu” bapak seperti berusaha menyembunyikan sesuatu.

 “Aku harap benar seperti yang engkau katakan, pak” tukas ibu seperti mengisyaratkan ketidakpercayaan terhadap apa yang dikatakan bapak.

 Ayam-ayam yang diternak bapak kembali ke kandangnya. Itu berarti hari sebentar lagi akan gelap. Malam akan segera tiba. Seperti biasa, bapak memastikan semua ternaknya sudah aman di dalam kandang.

 Selanjutnya beliau menyabet handuk yang biasa digantung ibu di gantungan dalam kamar dan melangkah ke kamar mandi. Biasanya bapak tidak begitu betah di kamar mandi. Ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membersihkan diri. “Kamar mandi bukan tempat yang nyaman untuk mencari jalan keluar” demikian jawab bapak bila ada yang mempersoalkannya karena mandi terlalu cepat.

 Bukan hanya kau saja, banyak orang yang dibuat bingung oleh jawaban bapak tersebut. Entah apa yang ia maksudkan dengan menjawab demikian. Tetapi jika ditanyakan oleh anak bungsunya sendiri, bapak menjawab dengan jawaban yang lain. “Jika hari ini kita membasuh diri sebersih mungkin, sampai tak ada kotoran yang tersisa dalam pori kita, lantas untuk apa kita mandi di hari esok atau hari selanjutnya?”

 Anak bungsunya hanya tertawa saja bila mendengar jawaban bapak yang demikian. Bapak memang begitu. Kadang terlihat bahagia sekali. Kadang terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Tetapi bapak jarang menangis. Atau mungkin ia tak mau menangis di depan anak-anak dan istrinya.

***

 Setelah memencet tombol merah dilayar handphone pintarnya, wajah bapak muram. Padahal baru saja bapak tertawa ria. Sampai tak sadar nasi yang di piringnya telah habis ia santap. Setelah membereskan perkakas makan siang, ibu yang sedari tadi ada bersama bapak memberanikan diri memulai dialog.

 “Aku sudah tak sabar lagi menyaksikan anak kita terseyum bahagia di hari wisudanya tahun depan, pak.” Tidak ada respon dari bapak. Itulah yang menyebabkan ibu seperti sedang bermonolog. Dengan sangat hati-hati, ibu meraih handphone bapak yang terletak di atas meja ketika bapak berlangkah ke kamar untuk beristirahat.

 Ibu mengecek semua yang terdapat di dalamnya, termasuk log panggilan. Bukannya ibu mencurigai bapak menaruh hati terhadap Hawa yang lain. Tetapi ibu ingin sekali mengetahui sebab musabab kemurungan bapak siang itu.

 Betapa kagetnya ibu, nama yang tertera di log panggilan handphone bapak ialah nama anak pertama mereka yang sebentar lagi akan menyelesaikan pendidikannya di salah satu kampus negeri ternama yang terletak di kota. Tidak seperti biasanya bapak kelihatan murung sehabis ditelepon oleh si sulung.

 “Andi memohon dikirim uang lagi. Katanya untuk keperluan tugas akhir sebelum diwisuda tahun depan. Jaumlahnya tak sedikit. Lima juta rupiah. Sebenarnya jika gaji bulan ini tidak digunakan untuk membayar utang dan tagihan listrik serta beberapa keperluan lainnya, saya bisa mengabulkan permintaan tersebut. Tetapi…” Belum sempat melanjutkan pembicaraannya, ibu menyambar “sudahlah pak, jangan jadikan itu sebagai beban paling berat. Pasti ada jalan keluar” ibu mencoba lebih bijak.

 Mendengar itu, bapak berbalik badan. Berusaha lebih dekat dengan ibu. Selanjutnya tidak ada lagi pembicaraan. Tidak ada lagi dialog. Pelan-pelan bapak mengatupkan kelopak matanya. Kamar berukuran sedang itu mendadak hening.

***

 Beberapa malam lalu, bapak bercerita tentang keinginannya untuk segera berjumpa dengan putera bungsunya. Maklum anak-anak bapak bersekolah di tempat yang berjauhan dengannya. Putera pertamanya berada di kota sedang menyelesaikan pendidikannya di tingkat perguruan tinggi. Sementara itu, putera keduanya berada di sekolah berasrama. Itu juga terletak di kota. Tetapi bukan kota yang sama dengan putera pertamanya.

 Betapa girangnya bapak ketika siang itu ia ditelepon oleh puteranya yang kedua. Puteranya itu bercerita tentang banyak hal. Tentang teman-teman barunya yang lucu dan nakal-nakal. Setelah berjanji untuk menuruti nasehat bapak, putera keduanya memohon dikirim uang. Katanya perlengkapan mandi dan segala kebutuhan lainnya sudah habis terpakai dan harus diganti dengan yang baru.

 “Bapak akan segera mengirimkannya, nak” kata bapak sambil mengembuskan nafas dan mengelus-elus dadanya sendiri. Untung kebutuhan putera keduanya tidak begitu banyak. Hanya sekitar dua ratusan ribu rupiah. Bapak seperti tidak merasa terbebani. Toh sisa pembayaran utang pak Karmin berjumlah lima ratus ribu. Semua uang itu sekarang mendiami dompet bapak. Hanya itu saja. Bulan depan baru akan bertambah jumlahnya. Bapak tidak sabar untuk segera tiba di bulan depan.

 Ibu turut berbahagia ketika malamnya bapak bercerita bahwa ia sangat berbangga dengan kedua puteranya. “Mereka hebat-hebat semua, bu. Mandiri dan penurut. Semoga saja nanti mereka menjadi orang-orang yang sukses. Aku tak mau nasib mereka sama seperti kita. Hanya menjadi pegawai negeri sipil yang nasibnya terserah negara” kata bapak sambil mengunyah menu makan malam. Ibu tersenyum saja.

***

 Perawat bahu membahu menurunkan seorang pasien perempuan dari dalam ambulans. Mereka dibuat tergesa-gesa oleh desakan seorang lelaki berusia lima puluhan tahun. Lelaki itu adalah suami dari pasien yang sedang mereka tangani. Lelaki itu seperti dalam cemas yang luar biasa. Lelaki itu adalah bapak.

 Lagi-lagi bapak terpaksa menanggung beban pikiran yang baru. Pikirannya kembali tak tenang. Ia sangat mencemaskan ibu yang tiba-tiba saja jatuh sakit. Ibu pingsan di kamar mandi. Ia terjatuh ketika sehabis mandi.

 Ketika sudah siuman, ibu dipindahkan dari ruang Instalasi Gawat Darurat ke ruangan Mawar untuk perawatan lebih lanjut. Bapak mengembuskan nafas lega. Kata dokter kondisi ibu tidak terlalu parah. Sekitar dua hari berada di rumah sakit, ibu akhirnya diijinkan untuk pulang ke rumah. Kondisinya semakin baik.

 Meski diperhadapkan dengan berbagai macam persoalan, bapak tetap menjadi sosok paling kuat. Akan selalu ada persoalan-persoalan baru yang datang silih berganti. Yang sedang kau baca saat ini adalah sebagian paling kecil dari persoalan bapak. Sebenarnya masih ada sekian banyak persoalan lainnya. Tetapi tidak ada jari yang mampu menulis habis tentang itu semua.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...