Langsung ke konten utama

Saya Menyesal Tidak Lahir Sebelum 1998

 Sebelum membaca lebih banyak lagi, di awal saya ingin menyampaikan bahwa ini tulisan memang agak ekstrem. Semoga saja mama yang telah mengandung dan merawat saya tidak tersinggung ketika membaca ini. Semoga saja bapak yang rela tulangnya dibanting demi memperpanjang nafas saya tidak kecewa ketika membaca ini. Semoga saja pembaca tidak menggeleng kepala ketika tiba di huruf terakhir sebelum titik terakhir tulisan ini.

 Sudah sekitar tujuh belas tahun lebih saya ada bersama semesta. Sejak kecil saya memang tidak banyak mempersoalkan ini itu tentang diri saya atau tentang hal-hal lain. Toh, dulu saya hanya diajarkan cara menyebut ‘papa’, ‘mama’, dan lain-lain dengan baik dan benar.

 Ketika usia saya semakin ke sini, saya kemudian menjadi tahu banyak hal. Bisa menyebut banyak kata. Mengeja banyak nama. Bahkan bisa menulis apa yang bisa saya tulis. Dari dulu hingga usia yang saya sendiri juga persisnya lupa usia berapa, saya mulai memiliki mimpi. Memiliki cita-cita.

 Mimpi saya pernah terkesan sedikit religius. Karena itu, saya pernah dicap sebagai anak alim dan tidak termasuk dalam golongan anak-anak nakal seperti umumnya teman-teman saya. Mimpi yang sedikit religius itu sempat mulai saya wujudkan. Selama kurang lebih lima tahun saya ditempa di lembaga pendidikan calon imam.

 Sungguh disayangkan, bukannya komit untuk terus berjuang dan tetap konsisten pada mimpi tersebut, saya malah kandas padahal jalan masih panjang. Tepat di tahun ke lima, saya mulai berpikir untuk mempertimbangkan mimpi-mimpi lain. Terlebih ketika membaca Soe Hok Gie dalam “Catatan Seorang Demonstran”.

 Jujur saja saya sangat mengagumi Gie dan kawan seperjuangannya. Gie mahasiswa aktif di masa awal kemerdekaan. Bagi saya, beliau tampak keren ketika melibatkan diri dalam aksi demonstrasi. Bahkan lebih gagah lagi ketika ia memimpin banyak aksi demonstrasi menuntut keadilan. Ia memang gagah dan tak gentar meski digertak oleh pihak-pihak yang tak ingin kemapananannya diusik.

 Beda dengan Chairil yang memiliki banyak Hawa sebagai kekasih, Gie justru tegas dalam “No lady, no baby, no money”. Jika Chairil suka berpindah-pindah perempuan, sebaliknya Gie sama sekali tidak memiliki perempuan terkasih selain mama dan keluarganya.

 Maklum, Chairil mudah memikat dan mudah dipikat para Hawa. Beberapa nama Hawa yang sempat terbaca dalam sajaknya ialah Karinah Moordjono, Ida Nasution, Sri Ajati, Gadis Rasjid, Sumirat, Dien Tamaela, Tuti, dan Ina Mia. Kau patut bersyukur, Chairil. Sebab tidak hidup dengan angkatan saya. Jika saja kau hidup di angkatan sekarang, sumpah, kau tak luput dari umpatan serta makian para Hawa. Belum lagi jika dicap playboy meski sebenarnya kau bukan ‘boy’ yang sedang ‘play’.

 Tetapi saya juga kagum sekali dengan Chairil. Tentu bukan karena kekasihnya yang banyak itu. Chairil hebat dalam menyalakan api semangat perjuangan kawan seangkatannya dengan puisi-puisi yang ia tulis. Misalnya “Karawang Bekasi”. Itu alasan mengapa saya kagum dengan Chairil.

 Selain Gie dan Chairil, saya juga kagum sekali dengan Munir. Saya tidak banyak tahu tentang Munir sebab hanya membaca Munir dalam “Aku Pembunuh Munir” karya Seno Gumira Ajidarma. Seno bercerita bahwa Munir mati murni karena menenggak racun. Ia diberi racun ketika tampil sebagai pejuang HAM dan keadilan di rezim yang sama sekali menginjak serta tidak menghargai HAM. Ah, sungguh sial kau, Munir.

 Mereka yang sudah saya sebutkan menjadi alasan mengapa saya kemudian berubah. Maksudnya alasan bagi berubahnya mimpi saya. Saya kemudian mulai banyak mempersoalkan ini itu tentang kelahiran saya. Memang saya belum bertanya langsung kepada mama. Namun tulisan ini mengemas pertanyaan tersebut. Saya ingin sekali bertanya kepada siapa saja (bukan hanya kepada bapa atau mama) perihal mengapa saya tidak lahir di tahun 1922 seperti Chairil? Mengapa saya tidak lahir dua puluh tahun sebelum kumandang proklamasi digaungkan? Atau setidaknya mengapa saya tidak lahir dua puluh tahun sebelum bapak pembangunan tumbang?

 Saya sering kali ambil jarak dengan keadaan yang ramai. Merenung sendiri saja. Di tempat yang tak tentu. Kadang di ruang belajar, kadang di taman, kadang di lorong tempat saya pernah menjumpai kekasih saya dulu. Bahkan kadang di ruang yang sunyi sekali. Saya bertingkah demikian demi menebak jawaban mama jika saja beliau ditanya “mengapa saya tidak lahir sebelum 1998, mama?”

 Berkali-kali saya semacam diberi jawaban oleh mama yang ada dalam diri saya. Maklum, mama ada dimana-mana. Jauh di dalam diri saya pasti ada mama. Atau setidaknya ada darah mama di dalam nadi saya. Seperti kata Aan, doa mama memang teramat luas. Dimana pun saya berada, saya pasti berteduh di bawahnya.

 Saya sempat menebak bahwa mama akan menjawab: “karena sebelum 1998 dan setelah 1998 bukan merupakan masa yang jauh berbeda. Terlebih ketika melihat masalah korupsi yang masih marak. Kesannya sebelum dan setelah 1998 tidak jauh berbeda bila diukur dari jumlah tuan-tuan berdasi yang mungkin terlalu miskin sampai-sampai mengalihkan uang untuk rakyat miskin (seperti kita) ke saku pribadi.” Saya membayangkan mama menjawab demikian. Maka tak heran bila cita-cita saya berubah sekian ratus derajat.

 Jika sekarang kepada saya diberi pertanyaan: “apa cita-citamu?” saya pasti menjawab: “ saya ingin memimpin aksi demo menuntut koruptor dihukum mati. Jika itu susah, saya pasti lebih susah lagi untuk dihadang. Sampai kulit saya tembus oleh peluru aparat keamanan. Jika perlu, sampai nyawa saya melayang akibat melawan aparat negara.”

 Jangan tanya kenapa saya bercita-cita seperti demikian. Itu karena sampai hari ini korupsi masih ramai dipraktikkan. Kasarnya, saya ingin mati seperti mahasiswa Trisakti yang menjadi korban dalam aksi menuntut keadilan. Saya terlalu miskin untuk mati karena sakit yang memakan biaya perawatan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...