Sebelum membaca lebih banyak lagi, di awal saya ingin menyampaikan bahwa ini tulisan memang agak ekstrem. Semoga saja mama yang telah mengandung dan merawat saya tidak tersinggung ketika membaca ini. Semoga saja bapak yang rela tulangnya dibanting demi memperpanjang nafas saya tidak kecewa ketika membaca ini. Semoga saja pembaca tidak menggeleng kepala ketika tiba di huruf terakhir sebelum titik terakhir tulisan ini.
Sudah sekitar tujuh belas tahun lebih saya ada bersama semesta. Sejak kecil saya memang tidak banyak mempersoalkan ini itu tentang diri saya atau tentang hal-hal lain. Toh, dulu saya hanya diajarkan cara menyebut ‘papa’, ‘mama’, dan lain-lain dengan baik dan benar.
Ketika usia saya semakin ke sini, saya kemudian menjadi tahu banyak hal. Bisa menyebut banyak kata. Mengeja banyak nama. Bahkan bisa menulis apa yang bisa saya tulis. Dari dulu hingga usia yang saya sendiri juga persisnya lupa usia berapa, saya mulai memiliki mimpi. Memiliki cita-cita.
Mimpi saya pernah terkesan sedikit religius. Karena itu, saya pernah dicap sebagai anak alim dan tidak termasuk dalam golongan anak-anak nakal seperti umumnya teman-teman saya. Mimpi yang sedikit religius itu sempat mulai saya wujudkan. Selama kurang lebih lima tahun saya ditempa di lembaga pendidikan calon imam.
Sungguh disayangkan, bukannya komit untuk terus berjuang dan tetap konsisten pada mimpi tersebut, saya malah kandas padahal jalan masih panjang. Tepat di tahun ke lima, saya mulai berpikir untuk mempertimbangkan mimpi-mimpi lain. Terlebih ketika membaca Soe Hok Gie dalam “Catatan Seorang Demonstran”.
Jujur saja saya sangat mengagumi Gie dan kawan seperjuangannya. Gie mahasiswa aktif di masa awal kemerdekaan. Bagi saya, beliau tampak keren ketika melibatkan diri dalam aksi demonstrasi. Bahkan lebih gagah lagi ketika ia memimpin banyak aksi demonstrasi menuntut keadilan. Ia memang gagah dan tak gentar meski digertak oleh pihak-pihak yang tak ingin kemapananannya diusik.
Beda dengan Chairil yang memiliki banyak Hawa sebagai kekasih, Gie justru tegas dalam “No lady, no baby, no money”. Jika Chairil suka berpindah-pindah perempuan, sebaliknya Gie sama sekali tidak memiliki perempuan terkasih selain mama dan keluarganya.
Maklum, Chairil mudah memikat dan mudah dipikat para Hawa. Beberapa nama Hawa yang sempat terbaca dalam sajaknya ialah Karinah Moordjono, Ida Nasution, Sri Ajati, Gadis Rasjid, Sumirat, Dien Tamaela, Tuti, dan Ina Mia. Kau patut bersyukur, Chairil. Sebab tidak hidup dengan angkatan saya. Jika saja kau hidup di angkatan sekarang, sumpah, kau tak luput dari umpatan serta makian para Hawa. Belum lagi jika dicap playboy meski sebenarnya kau bukan ‘boy’ yang sedang ‘play’.
Tetapi saya juga kagum sekali dengan Chairil. Tentu bukan karena kekasihnya yang banyak itu. Chairil hebat dalam menyalakan api semangat perjuangan kawan seangkatannya dengan puisi-puisi yang ia tulis. Misalnya “Karawang Bekasi”. Itu alasan mengapa saya kagum dengan Chairil.
Selain Gie dan Chairil, saya juga kagum sekali dengan Munir. Saya tidak banyak tahu tentang Munir sebab hanya membaca Munir dalam “Aku Pembunuh Munir” karya Seno Gumira Ajidarma. Seno bercerita bahwa Munir mati murni karena menenggak racun. Ia diberi racun ketika tampil sebagai pejuang HAM dan keadilan di rezim yang sama sekali menginjak serta tidak menghargai HAM. Ah, sungguh sial kau, Munir.
Mereka yang sudah saya sebutkan menjadi alasan mengapa saya kemudian berubah. Maksudnya alasan bagi berubahnya mimpi saya. Saya kemudian mulai banyak mempersoalkan ini itu tentang kelahiran saya. Memang saya belum bertanya langsung kepada mama. Namun tulisan ini mengemas pertanyaan tersebut. Saya ingin sekali bertanya kepada siapa saja (bukan hanya kepada bapa atau mama) perihal mengapa saya tidak lahir di tahun 1922 seperti Chairil? Mengapa saya tidak lahir dua puluh tahun sebelum kumandang proklamasi digaungkan? Atau setidaknya mengapa saya tidak lahir dua puluh tahun sebelum bapak pembangunan tumbang?
Saya sering kali ambil jarak dengan keadaan yang ramai. Merenung sendiri saja. Di tempat yang tak tentu. Kadang di ruang belajar, kadang di taman, kadang di lorong tempat saya pernah menjumpai kekasih saya dulu. Bahkan kadang di ruang yang sunyi sekali. Saya bertingkah demikian demi menebak jawaban mama jika saja beliau ditanya “mengapa saya tidak lahir sebelum 1998, mama?”
Berkali-kali saya semacam diberi jawaban oleh mama yang ada dalam diri saya. Maklum, mama ada dimana-mana. Jauh di dalam diri saya pasti ada mama. Atau setidaknya ada darah mama di dalam nadi saya. Seperti kata Aan, doa mama memang teramat luas. Dimana pun saya berada, saya pasti berteduh di bawahnya.
Saya sempat menebak bahwa mama akan menjawab: “karena sebelum 1998 dan setelah 1998 bukan merupakan masa yang jauh berbeda. Terlebih ketika melihat masalah korupsi yang masih marak. Kesannya sebelum dan setelah 1998 tidak jauh berbeda bila diukur dari jumlah tuan-tuan berdasi yang mungkin terlalu miskin sampai-sampai mengalihkan uang untuk rakyat miskin (seperti kita) ke saku pribadi.” Saya membayangkan mama menjawab demikian. Maka tak heran bila cita-cita saya berubah sekian ratus derajat.
Jika sekarang kepada saya diberi pertanyaan: “apa cita-citamu?” saya pasti menjawab: “ saya ingin memimpin aksi demo menuntut koruptor dihukum mati. Jika itu susah, saya pasti lebih susah lagi untuk dihadang. Sampai kulit saya tembus oleh peluru aparat keamanan. Jika perlu, sampai nyawa saya melayang akibat melawan aparat negara.”
Jangan tanya kenapa saya bercita-cita seperti demikian. Itu karena sampai hari ini korupsi masih ramai dipraktikkan. Kasarnya, saya ingin mati seperti mahasiswa Trisakti yang menjadi korban dalam aksi menuntut keadilan. Saya terlalu miskin untuk mati karena sakit yang memakan biaya perawatan.
Komentar
Posting Komentar