Kita boleh pergi sejauh yang kita mau. Boleh berangkat
sejarak yang mampu kita pandang. Tetapi suatu waktu tetap akan pulang juga. Kembali
ke rumah tempat kita memulai semua. Sampai di fase perjalanan pulang, kita
pasti merasa seperti selamat dari jurang. Lega seperti terbebas dari cengkeraman
segala luka.
Tidak ada rumah yang menolak kekurangan. Kalau ayang
menolak satu dua kurang dari dirimu, maka harus berpikir logis. Itu berarti
ayangmu bukanlah rumah. Ehhhhhh? Anjiiirrr. Kenapa pembahasan kita sejauh itu,
Bambang? Melenceng lancang. Mari kita lanjut.
Setelah dikandung selama sekitar lima tahun, Sanpio
tentu saja rumah bagi saya. Dan jika kepada saya diberi pertanyaan “seperti apa
Sanpio?” saya akan menjawab sesederhana ini “Sanpio adalah rumah tanpa kerikil
dan duri, rumah yang jauh dari bunyi, rumah paling akrab dengan sunyi. Di
Sanpio kau tidak pernah sendiri. Tidak akan dibiarkan menyendiri”
Dari rumah saya berangkat pukul nol enam lewat sekian
menit. Dalam perjalanan diberi satu kerikil oleh Yang Kuasa. Ban pecah sementara
perjalanan belum setengah. Untung saja pecahnya dekat bengkel. Saya singgah dan
mencoba mengatasi persoalan itu. Tuan bengkel masih nyenyak ketika saya
menyinggahi bengkelnya. Memang cukara’a betul itu ban. Tapi sudahlah. Yang
namanya masalah bukan untuk dihindari tetapi untuk diatasi.
Singkat cerita, saya tiba di Ruteng agak terlambat.
Tidak sesuai target awal saya. Di Ruteng, saya bersiap-siap untuk perjalanan
selanjutnya. Saya menghubungi satu dua kawan yang memang dalam perkiraan saya
pasti mau jika diajak jalan. Dan benar saja. Mereka mau. Toton bersama Pedo
(dua kawan bucin) langsung berkata ‘ya’ terhadap ajakan saya. Harusnya Zipuk
ikut. Tetapi beliau sibuk katanya. Saya akhirnya berangkat bersama Ken.
Perjalanan saya memang tidak mulus-mulus. Terus diberi
kerikil oleh Yang Kuasa. Meski begitu, saya komit tidak berhenti. Setelah pecah
yang pertama, saya kira ban akan aman hingga tiba dan pulang dari Sanpio.
Padahal tidak. Ban ternyata harus pecah sebanyak tiga kali sebelum tiba di
Sanpio.
Bayangkan Bambang, ban pecah tiga kali. Biaya
perbaikannya lima belas ribu rupiah. Lima belas dikali tiga berarti empat puluh
lima ribu rupiah. Cukara’a betul. Uang banyak dihabiskan untuk ongkos perbaikan
ban saja. Tapi sudahlah. Masalah selalu untuk diatasi. Memang perjalanan saya
yang paling banyak makan biaya adalah perjalanan pulang ke Sanpio.
Tiba di Sanpio saya disambut oleh diri saya yang lain.
Sebenarnya bukan saya saja tetapi juga Toton Wiji. Kami dikerumuni kawan-kawan
satu angkatan. Bicara menceritakan satu dua hal. Menceritakan kehidupan sebelum
akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa hidup pelik. Di mana-mana sulit. Ken dan
Pedo tiba belakangan di Sanpio. Kami mendahului mereka sebab mereka harus
mengurusi urusan super penting dulu.
Sekembali dari Sanpio kami menyempatkan diri untuk cenggo
(singgah) di Liang Bala. Katanya Liang Bala adalah pantai cantik di pinggiran
ibu kota Manggarai Timur. Dan memang demikian. Liang Bala bagi saya tak beda
dengan pantai cantik lainnya. Bagi saya Liang Bala memang cantik sekali.
Cantiknya juga bukan luka seperti yang dikatai Eka Kurniawan. Saya kira bagi
Toton Wiji dan Pedo tidak demikian. Ayang mereka masing-masing tentu lebih
cantik dari Liang Bala. Ehhhhhh?
Kami tiba agak malam di Ruteng. Pukul tujuh lewat
lima. Tidak langsung menuju rumah masing-masing. Kami memutuskan untuk cibak
(makan bakso) di tempat favorit si Pedo. Sudah itu dulu.
Komentar
Posting Komentar