Langsung ke konten utama

Labuan Bajo dan Cinta yang Tak Pernah Pudar


 Labuan Bajo tentu bukan nama tempat yang terdengar asing di telinga siapa pun. Tak dapat dimungkiri, semakin ke sini Labuan Bajo menjadi semakin populer. Siapa pun pasti mengenal tempat yang satu ini.

Mei dua ribu dua puluh dua, saya sekali lagi berkesempatan untuk menyambangi daerah ibu kota kabupaten Manggarai Barat tersebut. Keberangkatan saya ke Labuan Bajo tentu tidak untuk mengurus satu dua urusan super penting. Tidak sama sekali. Saya benar-benar berangkat hanya untuk mengisi waktu liburan saja.

Dengan mengendarai kendaraan roda dua, perjalanan di tempuh selama lebih kurang tiga jam penuh. Perjalanan memang sangat melelahkan. Apalagi kami (saya bersama bapak) memilih untuk tidak singgah selama dalam perjalanan. Setiap kali berkunjung ke Labuan Bajo saya hampir pasti selalu bersama bapak. Maklum, kantor bapak memang terletak di Labuan Bajo.

Sebelum berangkat, saya berkeinginan untuk mendokumentasikan perjalanan saya dan memang keinginan itu berhasil saya wujudkan. Saya sempat ada dalam dilema ketika memikirkan cara terbaik untuk mendokumentasikan perjalanan. Musababnya saya harus memilih antara merekam dan hanya sekedar mengambil gambar (foto) saja.

Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya saya memutuskan untuk berdokumentasi dengan memotret atau mengambil gambar saja. Saya sama sekali belum berpikir untuk menulis catatan perjalanan ini. Ide untuk menulis catatan perjalanan muncul belakangan.

Setiba di Labuan Bajo, saya yang berasal dari daerah dingin merasa seperti cacing kehangatan (bukan kepanasan). Maklum, hal ini karena suhu Labuan Bajo yang memang terlampau mudah untuk membuat siapa pun menjadi gerah. Tak hanya suhu, beberapa selokan di titik-titik tertentu di kota pariwisata super premium ini juga menguarkan aroma tak sedap. Sekiranya kedua hal tersebut membuat saya semakin sadar bahwa saya tengah berada di Labuan Bajo dan bukan sedang bermimpi mengunjungi Labuan Bajo.

Selama sebelum mengunjungi Labuan Bajo, saya seringkali membaca berita-berita di portal berita online lokal. Kesimpulan sederhana yang saya ambil setiap kali saya menyelesaikan pembacaan suatu berita (tentang Labuan Bajo) adalah Labuan Bajo memang merupakan kota cantik tetapi tidak baik-baik saja. Labuan Bajo adalah representasi dari apa yang ditulis oleh Eka Kurniawan bahwa cantik itu luka.

Kesimpulan saya yang demikian tentu sangat berdasar pada beberapa alasan. Untuk konteks sekarang, Labuan Bajo adalah destinasi wisata yang menjadi prioritas pemerintah untuk dikembangkan. Labuan Bajo memiliki potensi yang sangat menjanjikan bila terus dikembangkan. Terkait hal itu, pemerintah memang tengah mengupayakan berbagai hal demi Labuan Bajo yang lebih baik lagi.

Pembangunan pun gencar dilakukan. Hotel-hotel berbintang bukan pemandangan tak biasa pada atmosfer Labuan Bajo. Hanya dalam jarak sekian meter saja, terdapat hotel berbintang sebagaimana yang ditemukan di kota pariwisata super premium lainnya. Labuan Bajo tengah didandan dan dipoles menjadi lebih cantik lagi.

Sayangnya, mempercantik Labuan Bajo bukan menjadi suatu pekerjaan yang sangat mulia. Ada yang harus dikorbankan demi Labuan Bajo yang lebih cantik. Persisnya, mereka yang menjadi korban adalah alasan mengapa cantiknya Labuan Bajo tetap luka.

Sebagai misal, perkara hutan Bowosie, problem kepemilikan tanah, dan polemik seputar masyarakat yang sama sekali merasa tidak disejahterakan meski rencana pengelolaan Labuan Bajo menempatkan masyarakat sebagai sasaran utama untuk disejahterakan. Sederet problem ini hanya bagian terkecil dari luka pada cantiknya Labuan Bajo.

Dalam kunjungan-kunjungan sebelumnya, saya memang dibuat kagum oleh lanskap Labuan Bajo yang terlalu menarik. Sejak kunjungan pertama_ketika saya berhasil menjadi perwakilan kecamatan untuk mengikuti lomba mata pelajaran di ibu kota kabupaten_saya mulai jatuh cinta pada Labuan Bajo. Dengan alasan itu, kunjungan setelahnya merupakan hal yang sangat membahagiakan bagi saya.

Jika ada yang bertanya bahagianya seperti apa, maka saya akan menjawab sesederhana ini: mengunjungi Labuan Bajo bagi saya seperti mengunjungi gadis paling cantik di muka bumi, dan gadis itu adalah gadis kesukaan saya tetapi saya menolak untuk menyatakan bahwa saya menyukai dia, mencintai dia dan bla bla bla. Tetapi sebuah ironi terjadi dalam diri saya ketika banyak berita di portal berita online lokal membuat saya berkesimpulan bahwa Labuan Bajo adalah kota cantik yang tidak baik-baik saja.

Akibatnya, ketika diajak oleh bapak untuk refresh ke Labuan Bajo, saya tidak begitu merasa bahagia. Saya bahkan merasakan hal yang biasa-biasa saja mendengar ajakan itu. Toh, cantiknya Labuan Bajo adalah luka. Luka tak biasa yang melukai banyak orang_termasuk diri saya yang mengagumi kecantikannya.

Selama dalam perjalanan saya begitu yakin bahwa rasa cinta saya akan Labuan Bajo seperti terkikis dan akan pudar selamanya. Saya tidak seantusias seperti kunjungan sebelumnya. Dalam pemahaman saya, Labuan Bajo tidak lebih dari kota super premium yang dikelola hanya untuk kesejahteraan segelintir orang saja. Dan orang yang saya maksudkan tentu bukan masyarakat asli Labuan Bajo (suku Bajo) tetapi segelintir pendatang yang diberi ijin berinvestasi. Lantas bagaimana nasib masyarakat suku Bajo asli? Jawabannya sangat subyektif. Tergantung kepada siapa kita bertanya.

Namun hal sebaliknya justru saya alami ketika saya tiba di Labuan Bajo. Tepatnya ketika saya berjalan mengelilingi satu dua spot wisata di pinggiran ibu kota kabupaten Manggarai Barat itu. Saya yang sebelumnya merasa bahwa cinta saya akan Labuan Bajo seperti sudah selesai dan akan pudar selamanya justru merasakan hal yang sebaliknya.

Padahal kecantikan Labuan Bajo tetap berhasil membuat saya jatuh cinta. Sedikit polesan di beberapa tempat juga berhasil mempercantik Labuan Bajo. Maka, Terima kasih kepada pemerintah yang di satu sisi sudah berhasil mempercantik daerah ibu kota kabupaten tempat saya dilahirkan. Ujud tak putus juga saya rapal agar Labuan Bajo sesegera mungkin sembuh dari luka-lukanya; berharap terbaik untuk Labuan Bajo.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...