***
Tidak ada yang bisa kita salahkan atas apa yang sudah-sudah. Segala yang menimpa kita tidak mampu kita kendali. Maka tidak ada yang benar-benar bersalah selain kita yang dengan penuh sadar memilih pisah tanpa alasan-alasan pasti.
Kita tidak benar-benar paham bahwa siapa pun yang merasa paling bahagia harus bersiap benam dalam kondisi kelam: merasa sendiri dan paling jauh dari segala bahagia. Itu yang sedang terjadi saat ini. Aku sekarang merasa seperti menjadi manusia yang paling jauh dari segala bahagia. Seolah bahagia adalah berjalan sendiri ke lorong tempat di mana kau menunggu. Lalu kita melakukan ritus-ritus yang perlu, yang biasanya dirayakan oleh kekasih manapun: saling peluk saling kecup.
Kau juga merasakan yang sama, bukan? Di mana bahagiamu adalah menjumpai aku dan menjadi orang pertama yang memulai peluk; memulai cium. Lalu kau menuntut aku yang canggung; yang ragu-ragu memeluk ataupun memulai cium. Bahkan kau bertingkah angkuh dengan berkata bahwa segalanya kau yang memulai. Kenal pertama: kau yang memulai, pertama kali mencintai: kau yang memulai, pertama kali memeluk: kau yang memulai, dan segalanya dan segalanya, selalu kau yang memulai.
Itu semua kau rasa cukup kuat; cukup kokoh untuk menjadi dasar yang pada bagian atasnya kau membikin pernyataan kalau aku ini lelaki yang terlalu teliti. Terlalu cermat untuk memulai, termasuk memulai untuk mencintai, memeluk dan meninggalkan bekas bibir di kening dan di bibirmu.
Harusnya bahagia tidak begitu. Kita yang terlalu sepihak mendefenisikan sebuah kebahagiaan seolah hanya terbatas pada saling sayang. Kita sudah sewenang-wenang dalam memasang tolok kebahagiaan. Tetapi sekali lagi, kita tidak bisa menyalahkan siapa pun. Kita tidak bisa menuntut apapun dan siapa pun untuk mempertanggungjawabkan itu semua.
Sebenarnya ketika dulu masing-masing kita mengaku bahwa tidak ada kebahagiaan lain selain menghabiskan hari dengan bercengkerama secara virtual, telepon hingga berjam-jam, atau berjumpa meski hanya dalam waktu yang tidak begitu lama, kita sedang mengamputasi bahkan menikam kebahagiaan-kebahagiaan lain. Sebelumnya kebahagiaan adalah tertawa terbahak bersama teman-teman tetapi sejak kita mengaku saling sayang dan bersedia saling silang salah, kita ceroboh menikam kebahagiaan itu.
Sebelumnya kebahagiaan adalah betah di ruang keluarga, mendengarkan kisah cinta yang dikisahkan mama atau mendengarkan bapak yang setia menceritakan kembali kisah masa kecil anak-anaknya, tetapi sejak kita sepakat akan abadi sebagai sepasang kekasih, kita semau saja atas kebahagiaan itu; termasuk menganggap itu bukan sebagai kebahagiaan. Sebelumnya ada banyak kebahagiaan tetapi kita telanjur menikam kebahagiaan-kebahagiaan itu sampai-sampai kebahagiaan itu sudah menjadi jauh dari kita.
Kau dulu bersikeras abadi. Selalu meminta maaf jika seharian tak kau kabari aku. Kau juga sering marah-marah jika kau tak kukirim kabar. “Itu semua agar kita abadi. Agar tidak pisah, tidak selesai kisah saling beri kasih” katamu suatu waktu. Padahal sekarang tidak seperti itu, seperti kata orang, jauh panggang dari api. Jauh harapan dari kenyataan yang terjadi.
Perkenalan kita benar-benar merupakan kebetulan yang pernah kita syukuri namun sekarang masing-masing kita menyesalinya.
“Kalau tahu begini, aku tidak pernah mau mengenalmu dulu” katamu dalam pesan singkat di whatsapp.
“Kau kira aku tidak seperti itu?”
“Pokoknya jika dulu diberi pilihan, berkenalan denganmu atau tidak berkenalan sama sekali, aku pasti memilih opsi kedua; tidak berkenalan sama sekali”
“Pokoknya aku juga begitu”
Selanjutnya tidak kau kirim balasan untuk beberapa pesanku sebab kau membencinya. Kau anggap pesanku terlalu kasar sebab menyalahkan perempuan yang harusnya selalu benar. Ingatanku masih merekam baik, pesan terakhir yang aku kirim ketika kau terlebih dahulu mematikan data selulermu kurang lebih berbunyi:
“Aku minta maaf. Aku yang salah. Semoga kau selalu baik-baik saja. Semoga lebih bahagia dari sebelumnya”.
***
Sebulan dua bulan berlalu tanpa ada dialog dan pembicaraan. Sampai di bulan kesekian, aku menerima pesan masuk di whatsapp:
“Selamat malam, Gie. Ini Diya. Selamat natal buat Gie sekeluarga. Terlebih buat mama”
Aku yakin kau pasti mengira kalau aku benar-benar sudah memblokir nomormu sebab pesan yang kau kirim itu hanya diberi keterangan centang satu. Nyatanya tidak begitu. Aku hanya menghapus kontakmu tetapi tidak memblokirnya. Keterangan centang satu itu hanya karena aku terlebih dahulu mematikan data seluler dan memutuskan untuk tidur sebelum larut meski seharusnya malam natal perlu dirayakan setidaknya dengan begadang.
“Halo Diya. Apa kabar? Selamat natal juga buat Diya sekeluarga. Minta maaf baru balas, tadi malam tidur cepat soalnya”
"Urusan melupakan memang tidak mudah, Diya. Tidak semudah ketika kita saling cinta dulu."
⸺⸻
Pagi itu, tanpa pernah aku pikirkan, aku seperti mengulang kebiasaanku dulu: bangun langsung membalas pesan singkat darimu.
“Kau manusia paling cuek sudah. Tiap kali berpapasan tidak pernah menyapa. Bahkan kau bertingkah seolah tidak melihat aku; tidak mengetahui keberadaanku di depanmu”
“Sorry, Diya. Tetapi itu yang lebih baik ketimbang berdarah lagi luka dalam dada. Lagian bukankah kau sekarang bahagia sekali. Kalau dulu masih bertahan dengan aku, kau tidak akan pernah berangkat ke vila di bukit; melihat senja yang cantik berpulang ke peraduannya. Aku tidak punya motor untuk membawamu ke sana. Kalau dulu kau masih bertahan dengan aku, kau tidak akan pernah merasakan betapa nikmat minuman di kafe itu; aku tidak punya cukup uang untuk mengajakmu ke kafe. Ada banyak lagi lainnya. Aku bersyukur karena sekarang kau benar-benar bahagia. Aku berbahagia dalam tiap-tiap bahagiamu”
“Kau bicara asal suka saja. Tahu apa kau soal kebahagiaanku? Tahu apa kau soal luka-lukaku? Tahu apa kau?”
Aku masih sibuk mengetik pesan ketika pesan singkat darimu terlebih dahulu masuk di kolom chat:
“Sudah. Jangan balas lagi”
***
Aku tidak menyangka kalau kau juga sedang menahan luka. Aku kira, kau gampang lupa. Maksudnya tidak susah bagimu untuk melupakan seorang lelaki yang selain bertampang jelek juga tidak bermodal ini.
Urusan melupakan memang tidak mudah, Diya. Tidak semudah ketika kita saling cinta dulu. Aku sendiri masih tidak bisa melupakanmu. Sekalipun aku pasir di tepi pantai dan kau adalah perempuan yang menjejakkan kaki di pasir-pasir itu, tetap tidak ada ombak yang berhasil menghapus jejakmu. Benar-benar tidak ada.
“Diya, kita bisa tanpa sengaja kembali menjadi tak saling kenal?”
Pesan itu seperti kalimat bimbang yang aku ketik di kolom chat yang nomormu adalah nomor tujuannya. Tidak pernah aku klik ikon send sehingga pesan itu tidak sampai padamu. Tidak juga aku klik ikon delete yang seharusnya bisa menghapus pesan itu.
Komentar
Posting Komentar