Langsung ke konten utama

Mama dan Segala yang Cuma-cuma

    

    Siapa pun pasti tidak membantah kenyataan bahwa segala yang berasal dari mama selalu cuma-cuma. Mama selalu memberi segala dan selama itu pula mama tidak pernah menuntut agar kebaikannya dibalas. Di usia yang sudah tak lagi belia, ketakutan terbesar yang saya rasakan bukan lagi ketika mama marah. Konon ketika usia masih belum apa-apa, celaka adalah saat mama marah. Alasannya macam-macam. Yang pasti kemarahan mama dipicu oleh tingkah saya yang berlebihan yang kasarnya disebut nakal. Lagi-lagi di usia sekarang saya menjadi sadar. Konon ketika mama marah, kemarahannya adalah kasih sayang yang tumpah ruah; menuntun anaknya ke kanan ketika si anak mulai berjalan di kiri.  

    Saat ini, ketika menulis cerita ini (dan tidak tahu sampai kapan), ketakutan terbesar saya adalah ketika mama diam karena marah. Sampai kapanpun pasti selalu ada saat di mana untuk kesekian kalinya tingkah saya tidak berkenan di hati mama. Lalu mama marah tetapi cara marahnya sudah berbeda. Tidak seperti ketika saya kecil dulu. Sekarang marahnya adalah diam. Kadang pecah air mata di kelopaknya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari melihat air mata mama jatuh karena tingkah saya. Tidak ada yang lebih mengharukan dari memergoki mama sementara bersujud. Mulutnya komat-kamit menyebut satu per satu nama kami. Mama mengunyah nama kami setiap kali ia berdoa.


"Ma, saya mau bilang kalau saya ini adalah Puzzle yang kepingan terbesarnya tersusun oleh mama."

⸺⸻


    Saya termasuk orang yang sama sekali tidak percaya dengan yang namanya balas jasa. Sekeras apapun usaha yang dilakukan oleh anak tetap tidak akan pernah benar-benar mampu membalas jasa orang tua. Bagi saya balas jasa adalah omong kosong. Saya bersedia dan bertekad untuk membuat mama dan bapa bahagia tetapi tidak berarti saya melakukan itu sebagai bentuk balas jasa. Saya melakukan itu sebab terlebih dahulu saya diperlakukan seperti itu, bahkan jauh lebih baik dari itu. Kebahagian-kebahagiaan saya tersusun dari doa-doa bapa dan mama yang selalu baru dari malam ke malam.

    Ma, saya mau bilang kalau saya ini adalah Puzzle yang kepingan terbesarnya tersusun oleh mama. Saya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa andaikata mama tidak pertaruhkan segala. Saya mau bilang terima kasih banyak. Terima kasih seribu; beribu-ribu.

    Kepingan lain diri saya adalah bapak. Saya selalu ingin memeluk bapak tetapi bingung memulainya seperti apa. Sering pura-pura kuat karena angkuh. Saya mau bilang terima kasih banyak kepada bapak. Terima kasih untuk segala usaha hingga keringat darah. Terima kasih, dari mulai hal-hal biasa hingga hal-hal luar biasa yang saya sendiri tidak pernah berniat membalas itu semua sebab saya tahu, balas jasa adalah omong kosong. Mustahil. Terima kasih untuk bunyi dering telepon tiga kali sehari. Walau hanya sekadar tanya kabar dan mengingatkan makan. Terima kasih untuk amarah yang tak tahan-tahan sehingga saya paham bahwa terkadang cara paling kasar adalah sayang paling dalam. Terima kasih banyak untuk segala kepercayaan yang hingga hari ini tidak pernah diambil dari saya. Sewaktu-waktu, kalau kepercayaan itu hilang, saya tidak tahu harus seperti apa. Tetapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap merawat kepercayaan itu.

    Yang paling penting, terima kasih karena selalu menjadi sayap-sayap mimpi yang membuat mimpi-mimpi saya tetap di angkasa. Jangan pernah patah; jangan juga kalah. Sekarang saya sedang peluk diri. Tidak peduli dengan apa yang dikata orang. Tidak peduli dengan segala yang terjadi di luar diri. Saya sekarang sedang peluk diri; peluk bapa dan mama.   

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...