Langsung ke konten utama

Varanidae: Kita Nanti seperti Kadal Itu



Tutur Karya benar-benar menjadi rumah diskusi yang bagi saya sangat ramah. Orang-orangnya sederhana. Topik-topiknya selalu seru. Tutur karya mengadakan diskusi rutin setiap akhir pekan, tepatnya setiap hari Sabtu sore. Menyenangkan sekali ketika akhir pekan sudah tiba. Bahkan menjelang akhir pekan rasa bahagia itu mulai muncul. Tepatnya rasa tidak sabar untuk berdiskusi bersama kawan-kawan di Tura. Biasanya sejak hari Kamis atau Jumat, Divisi Jurnalistik Komunitas Tura akan memberikan informasi terkait diskusi. Dari mulai  topik yang akan didiskusikan, moderator yang akan memandu, hingga hal-hal teknis lainnya.

Satu yang menarik dari Tura yakni ketika berdiskusi, berapa pun jumlah orang yang hadir sama sekali tidak mempengaruhi jalannya diskusi. Artinya, sekalipun hanya dihadiri oleh lima orang saja bukan berarti hal itu membuat diskusi tidak dijalankan. Pada Sabtu, 07 Oktober 2023 Tutur Karya kembali mengadakan diskusi secara online. Yofran Duhari, siswa SMA Pancasila Borong, tampil sebagai moderator yang memandu jalannya diskusi.


"Kita nanti akan tersingkir dari ruang hidup kita. Kita nanti akan seperti kadal itu..."

⸺⸻

Yofran selaku moderator mengawali diskusi dengan menceritakan secara sekilas cerpen berjudul Varanidae yang menjadi bahan perbincangan dalam diskusi itu. Cerpen Varanidae adalah cerpen karya Pandu W. S dan dipublikasikan di detik.com pada Jumat, 07 Juli 2023. Selain menceritakan secara garis besar isi dari cerpen tersebut, Yofran juga menyampaikan beberapa hal penting yang sifatnya sangat informatif dan tentu saja memiliki kaitannya dengan cerpen Varnidae. Sebagai misal, Yofran memberikan informasi singkat tentang arti kata Varanidae yang merupakan nama Latin hewan Kadal.

Selanjutnya Yofran memberikan kesempatan kepada kawan-kawan yang hadir di zoom untuk menyampaikan hasil pembacaan masing-masing. Ketika diberi kesempatan, saya memilih untuk fokus pada realitas yang diangkat penulis. Bagi saya, penulis adalah penerjemah realitas. Tentu saja semua bisa menjadi penerjemah namun tidak semua berhasil menjadi penerjemah yang baik. Berkali-kali saya menyampaikan hal ini kepada kawan-kawan di Komunitas Tutur Karya dalam beberapa kesempatan diskusi. Tujuannya sederhana saja, agar mereka tetap semangat menulis.

Saya tidak ragu mengatakan bahwa Pandu W. S (penulis Vereniddae) adalah salah satu penerjemah yang baik. Pandu menerjemahkan realitas ketersingkiran hewan-hewan akibat ulah manusia. Gencarnya pembangunan di satu sisi membawa dampak positif namun di sisi lain sangat berbahaya sebab tak jarang pembangunan itu dilakukan dengan mengobrak-abrik ruang hidup hewan-hewan. Nasib buruk yang menimpa Biawak dalam cerita Varanidae hanya salah satu contoh saja. Artinya ada begitu banyak hewan lain yang kemudian kehilangan ruang hidup akibat ulah manusia.

Embun Lembunai, Koordinator Divisi Media Komunitas Tura turut menyampaikan hasil pembacaannya.

“Apa yang dialami Varanidae di cerpen ini sewaktu-waktu akan kita alami juga. Kita nanti akan tersingkir dari ruang hidup kita. Kita nanti akan seperti kadal itu. Gejalanya sudah ada. Yang paling nyata itu adanya fenomena pemanasan global. Kan ruang hidup kita jadinya terancam” demikian komentar Embun.

Komentar yang kurang lebih senada disampaikan oleh Fr. Faldo Mogu, salah satu inisiator Komunitas Tutur Karya dan penulis buku Gadis Penghuni Bumi. Fr. Faldo menitikberatkan perhatiannya pada pesan yang hendak disampaikan penulis melalui cerpen tersebut.

“Cerpen ini menjadi semacam karya yang berusaha merangsang emosi intelektual kita agar tetap memberi perhatian pada realitas yang sekarang sangat memprihatinkan. Melalui ini cerpen penulis seolah hendak ‘menampar’ kita semua sampai kita benar-benar sadar dan peduli dengan apa yang terjadi saat ini” ungkap Fr. Faldo.

Dalam kesempatan menyampaikan hasil pembacaannya, Feby Vallois_anggota Divisi Jurnalistik Komunitas Tura_mengaku sempat mengalami kebingungan ketika membaca Varanidae. Feby mengungkapkan bahwa ending cerpen Varanidae sedikit membingungkan.

“Ada sedikit kebingungan ketika baca cerpen ini. Tiba-tiba di endingnya ada tokoh yang menolong dua ekor Biawak yang ada di cerita. Padahal dari awal cerita ditampilkan bahwa Biawah yang menjadi tokoh dalam cerpen itu sedang dalam keadaan bahaya karena berhasil masuk jebakan manusia. Makanya sedikit bingung ketika baca sampe ending” Feby menceritakan kesulitannya ketika membaca Varanidae.

Varanidae berhasil meningkatkan gairah diskusi kawan-kawan di Tura. Malam itu diskusinya berlangsung alot. Masing-masing menyampaikan hasil pembacaan yang tentu saja berbeda sehingga menarik untuk disimak. Semoga Tutur Karya umur panjang. Semoga Tutur Karya terus berkarya dengan menuturkan karya-karya. Semoga kawan-kawan di Tura tetap menjadi nafas Komunitas Tutur Karya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...