Dengan judul tulisan “Pelibatan Masyarakat Lokal di
Kabupaten Manggarai untuk Pembuatan dan Pemanfaatan Biogas dari Tinja Babi” Isyan melakukan penelitian terkait pengolahan dan
pemanfaatan tinja babi sehingga dapat meminimalisasi dampak negatif yang
ditimbulkan. Lokus penelitian yang dilakukan oleh Isyan yakni beberapa
daerah yang secara administratif merupakan bagian dari Kabupaten Manggarai.
Masyarakat di Manggarai mayoritas merupakan peternak babi. Berdasarkan data
yang ditampilkan Isyan dalam tulisannya, tahun 2021 jumlah babi yang diternak
masyarakat Manggarai 60.922 ekor yang tersebar di berbagai kecamatan.
Selanjutnya, produksi tinja yang dihasilkan dari puluhan ribu ekor babi
tersebut lebih kurang 299.402 kg/hari dengan produksi gas 12.392 m3/kg.
Persisnya,
potensi inilah yang dilihat oleh Isyan yang kemudian membuatnya terdorong untuk
melakukan penelitian tersebut. Tinja babi jika tidak diolah lebih lanjut akan
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan semisal polusi udara dan menjadi
sumber penyakit. Kandungan yang terdapat dalam tinja babi nyatanya dapat
diolah menjadi biogas yang bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan biogas tersebut diketahui dapat menghemat pengeluaran serta memiliki
nilai ekonomis yang tinggi.
Topik
yang dipresentasikan Isyan pada kesempatan diskusi itu sungguh menarik.
Konsentrasi saya seluruhnya fokus pada materi yang disampaikan Isyan selama
sesi pemaparan materi. Selanjutnya, ketika sesi diskusi, saya menjadi orang
pertama yang berkomentar. Saya sangat mengapresiasi karya Isyan. Tulisannya
bernas karena menampilkan jalan keluar dari salah satu problem yang dialami
masyarakat Manggarai, yakni persoalan pengolahan tinja babi. Bagi saya, tulisan
Isyan akan sangat kaya apabila dilengkapi dengan kendala, tantangan serta
resiko yang ditimbulkan pada saat melakukan pengolahan tinja babi.
"Saya tidak pernah membayangkan bahwa Tura, yang dulunya bernama Pentas (Pencinta Sastra), bisa bertahan sejauh ini."
⸺⸻
Kendala
utama yang dialami yakni minimnya jumlah pakar yang memahami seluk beluk
pemanfaatan biogas dari tinja babi. Harus diakui, jumlah pakar di daerah
Manggarai yang memang memiliki pengetahuan yang mumpuni terkait pengolahan
tinja babi masih sangat minim. Jumlahnya hanya dalam hitungan jari saja. Di
sisi lain, pemanfaatan biogas dari tinja babi dihadapkan pada tantangan sumber
daya manusia. SDM masyarakat Manggarai rasa-rasanya belum mumpuni. Maka
kesiapan masyarakat (dalam hal ini pembenahan SDM) menjadi semacam anak tangga
pertama yang perlu diperhatikan dan disikapi sebagaimana mestinya. Pemanfaatan
biogas dari tinja babi tentu bukan sebuah pekerjaan tanpa resiko. Kesalahan
dalam konstruksi reaktor kubah dan konstruksi lainnya bisa saja menimbulkan
dampak buruk semisal kebakaran. Sayangnya, dalam tulisan itu Isyan tidak
mendetailkan kendala, tantangan dan resiko yang akan dihadapi ketika melakukan
pemanfaatan biogas dari tinja babi.
Stevano,
salah satu anggota Komunitas Tutur Karya, menyampaikan komentar terkait
kesiapan SDM dan peran aktif pemerintah.
“SDM
memang menjadi tantangan utama. Tetapi hal ini, kalau menurut saya, bisa
diatasi dengan keterlibatan pemerintah. Pemerintah harusnya tidak tutup mata
dan berperan aktif dalam mensosialisasikan. Masyarakat kita tidak akan bergerak
tanpa ada yang menggerakkan. Peran aktif pemerintah dalam hal ini bisa menjadi
penggerak yang giat melakukan sosialisasi" demikian komentar Stevano.
Faldo
Mogu, inisiator sekaligus anggota Divisi Jurnalistik Komunitas Tutur Karya
menyampaikan bahwa tantangan lain yang akan dihadapi dalam upaya melibatkan
masyarakat untuk pengolahan biogas dari tinja babi ialah kebiasaan masyarakat.
“Biogas
menjadi hal baru bagi masyarakat Manggarai, khususnya di daerah pedalaman.
Masyarakat kita punya kecenderungan betah di zona nyaman. Kalau mereka nyaman
dengan kayu api maka bukan hal mudah untuk membuat mereka beralih ke kompor
gas. Apalagi penggunaan kompor gas ini kan nantinya punya resiko besar. Salah
sedikit akan meledak. Bagi saya ini juga jadi tantangan” ungkap Faldo.
Komentar
Faldo dengan segera ditanggapi oleh Isyan.
“Justru
itu kae. Persoalannya ketersediaan kayu di alam kita sudah semakin menipis.
Bukan tidak mungkin sewaktu-waktu akan habis. Masu sampai kapan kita
mengandalkan kayu untuk kebutuhan di dapur kita. Sulit memang tapi bukan tidak
mungkin. Pelan-pelan bisa kita mulai” ungkap Isyan menanggapi.
Adu ide
berlanjut. Komentar berikut datang dari Nando Pepo, anggota Divisi Jurnalistik
Komunitas Tutur Karya.
“Pemanfaatan
biogas dari tinja babi ini pernah kami lakukan. Saya punya pengalaman yang
memang tidak banyak tapi setidaknya pengalaman itu ada. Konstruksi kubahnya, dalam
pengamatan saya, menggunakan bata merah. Di daerah Manggarai saya kira tidak
ada lokasi produksi bata merah. Kalau di Lembor (Manggarai Barat) memang ada.
Daerahnya cocok karena daerah panas sementara kita di daerah Ruteng dan
sekitarnya ada di daerah dingin. Saya kira butuh biaya juga kalau mendatangkan
bata merah dari Lembor. Kalau konstruksinya besar berarti biaya yang ditelan
juga tidak sedikit. Saya ingin tahu saja, apakah bata merah ini bisa kita
ganti? Tujuannya untuk penghematan. Saya jamin, kalau biaya konstruksi mahal
masyarakat pasti tidak banyak yang mau” komentar Nando.
Isyan
dalam tanggapannya menekankan bahwa konstruksi merupakan sesuatu yang
sepenuhnya ada pada kehendak pengelola, dalam hal ini masyarakat. Urusan
konstruksi dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya terkait batu bata yang
digunakan, bentuk kubah, dan konstruksi lainnya bisa disesuaikan.
Saya
tidak pernah membayangkan bahwa Tura, yang dulunya bernama Pentas (Pencinta
Sastra), bisa bertahan sejauh ini. Kepada semua anggota Tura selalu saya
katakan kalau mereka adalah nafas Tura. Saya tidak bisa membayangkan kalau
mereka di kemudian hari, entah karena alasan apapun, berhenti atau tidak lagi
menjadi nafas Tura. Tidak muluk-muluk, cita-cita saya kecil saja: ingin agar
Tura umur panjang. Abadi.
Komentar
Posting Komentar