Rutinitas
baru mengunjungi dan berdoa di Gua Maria yang ada di Katedral Hati Kudus Yesus saya
mulai tanpa perencanaan. Ketika sedang dalam masalah, sangat jarang saya
berdoa. Alih-alih berdoa, saya justru banyak mengeluh. Saya hanya akan berdoa
ketika menghadiri Misa hari Minggu sore. Khusyuk sekali. Sebelum misa dan
seusai misa. Ujud-ujud saya sama, mohon restu agar mimpi, perjuangan, cita-cita,
segala upaya, dan kerja keras saya mendapat berkat.
Dalam doa
saya, sering saya bicarakan kepada Tuhan kalau perjuangan saya semata-mata agar
nama-Nya semakin dimuliakan. Tentu tidak lupa saya berdoa agar bapa dan mama
yang sedang saya “siksa” dengan tagihan biaya kuliah selalu diberi rahmat. Diberi
kesehatan saja sudah sangat cukup bagi saya. Saya, bapa dan mama percaya kalau tubuh
yang sehat jauh lebih dari cukup. Toh, kesehatan selalu menjadi modal besar
untuk mengais rejeki. Kalau tubuh sedang tak baik-baik bagaimana mau berjuang? Tidak
untuk selamanya mengandalkan utang.
Malam ini
saya berangkat lagi ke Gua Maria. Beberapa meter dari gerbang masuk Katedral,
saya berjumpa dengan pria asing. Di bawah remang-remang lampu jalan.
“Mas. Mas.
Saya mau minta tolong sama sampean.” Ucap pria itu.
“Ada apa
mas? Apa yang bisa saya bantu?” saya merespon alakadar.
“Tolong mas. Saya mau pulang ke Jogja. Dompet saya hilang. Saya datang ke sini untuk ikut interview kerja jadi satpam. Saya tidak habis pikir, interviewnya sampe kemarin malam jam 10 sejak siang. Saya butuh uang mas. Sepatu sudah saya jual. Ini saya menawarkan jaket saya sama masnya. Kalau masnya mau beli, uang itu saya pakai untuk biaya kereta kembali ke Jogja” pria asing itu memelas.
Saya tidak
langsung menjawab. Lama saya terdiam. Kok bisa?
“Kita
ngobrol dulu mas. Duduk dulu di situ” saya tertarik untuk mengulik ceritanya.
Pria asing itu mengikuti ajakan saya. Kami duduk di bawah pohon di pinggir jalan menuju Katedral.
“Ada apa
mas? Kok bisa? Ceritanya bagaimana?” saya bermaksud mengajaknya untuk
menceritakan semua.
“Ngene,
mas. Saya ini orang asli Jogja. Datang ke Surabaya untuk nyari kerja. Kemarin
siang sampai malam saya diinterview. Saya lamar jadi satpam. Karena kelelahan,
saya tidur di halaman gedung tempat interview. Pas bangun paginya, dompet saya
hilang. Hape saya juga hilang. Tadi saya jual sepatu saya buat beli makan. Saya
orang baru di kota Surabaya ini. Saya pingin pulang, mas. Anak sama istri saya
pasti nungguin. Gimana ini mas? Jaket saya dibeli ya, mas. Harganya sesuai
biaya perjalanan saya ke Jogjakarta. Sekitar seratus lima puluh ribuan” pria asing
itu bercerita dengan irama nafas harap-harap cemas dan logat khas Jawa.
“Tenang sek,
mas. Saya tidak bermaksud menceritakan kesusahan saya kemudian saya bandingkan
dengan kesusahanmu. Saya mau bantu. Mau sekali. Tetapi jujur, saya tidak punya
uang segitu. Saya mahasiswa di sini mas. Anak rantau dari NTT. Ini tadi saya
mau ke Gua Maria. Mau berdoa. Saya lagi tekun novena akhir-akhir ini. Biaya kuliah
saya mahal. Harga hidup di kota ini juga bukan main mahalnya. Sumpek mas,
kepala saya. Mumet. Makanya saya novena terus. Bingung. Mau ngapain lagi”
“Maaf
mas. Novena itu apa? Gua Maria itu gua yang bagaimana?”
“Kenalan
sek, mas. Saya Apri” saya mengulurkan tangan dan mengajaknya berkenalan sebelum
menjawab pertanyaannya.
“Nggeh,
mas. Saya Budi” balasnya.
“Di
deket sini ada Gereja, mas. Gereja besar. Gereja pusat. Lebih dikenal dengan
sebutan Katedral. Di bagian luarnya, ada Gua Maria. Saya komit untuk
memperbaiki lagi hubungan saya dengan Maria Ibu Yesus. Makanya tiap malam saya
datang ke gua. Lalu berdoa” saya mencoba menjelaskan.
“Oalaaaaa...
Masnya nasrani ya mas? Saya muslim mas” ucapnya.
“Iya
mas. Tuhan kita masih sama. Hanya cara kita berdoa saja yang beda” saya
berusaha sedikit bijak agar tidak ada diantara kami yang tersinggung.
“Maaf
merepotkan sampean, mas. Silakan lanjut doanya. Saya ijin pamit ya mas”
ucapnya sambil berusaha menyajikan senyum.
“Jangan
dulu mas. KTP ada? Asli Jogja ya mas? Di Jogja mana?” saya menahannya.
“Saya
asli Jogja, mas. Asli Sleman. KTP saya ada di dompet mas. Dompet yang hilang
kemarin malam itu isinya SIM, STNK, KTP sama uang delapan ratus ribu rupiah. Saya
datang ke sini bawa modal sejuta. Dua ratusnya sudah kepake untuk biaya makan
dan biaya perjalanan. Sisanya sudah ludes semua, mas. Apesss” keluhnya.
“Sebelumnya
kerja apa, mas? Di Jogja ada sawah gitu? Ada kebun?” saya kembali bertanya.
“Saya
ini dulu satpam di perumahan Permata, mas. Pas pandemi kemarin saya kena PHK. Lalu
saya buka usaha dengan modal seadanya. Jualan gorengan di daerah pasar burung
Sleman. Sawah gak ada, mas. Kebun ada. Kebun kecil belakang rumah. Kecil mas,
kebunnya. Kecil banget”
Mendengar jawabannya, saya terdiam. Memikirkan bagaimana saya harus membantunya.
“Saya
lanjut dulu, mas. Pamit dulu ya” pria dengan ciri fisik khas orang Jawa itu
memecah keheningan.
“Ke mana mas?” saya membalasnya.
“Mboh, mas. Gak tau ke mana. Wes, pokoke jalan. Nanti ada orang baik yang bantu. Semoga aja” ia berkata sambil mengupayakan senyum yang lagi-lagi mengisyaratkan kecemasan.
“Saya mau sekali bantu mas. Percuma rasanya saya rutin doa tiap malam kalau tidak membantu sesama. Tetapi itu tadi. Saya gak punya uang segitu. Hati-hati ya mas. Mas Budi, malam ini ada ujud untuk Mas Budi. Banyak sabar mas. Orang baik ada. Pasti. Tetapi tidak tau di mana keberadaannya. Seng sabar ae yo mas” saya berkata demikian dengan logat khas Indonesia Timur tetapi dengan kosakata bahasa Jawa.
Kami saling memunggungi. Mas Budi melanjutkan perjalanan tanpa arah. Saya memantapkan langkah menuju Gua Maria. Sepanjang perjalanan hingga tiba di gua pikiran saya tidak tenang. Mungkinkah itu Yesus yang sedang mencari tumpangan?
Sesampai di gua ada perempuan bergaun merah duduk di bangku paling depan. Paling dekat dengan Patung Maria. Perempuan itu menangis. Entah karena apa. Tangisannya melahirkan puisi yang adalah ujud saya malam itu:
Maria, aku sudah berhenti menyebut nama sendiri dalam tiap-tiap ujud
Di perjalanan tadi aku berpapasan dengan orang asing
Aku berdoa untuknya.
Aku mendoakan perempuan manis yang menangis di hadapanmu
Aku tidak tahu apa yang sedang berperang di kepalanya
Tetapi,
Amin.
Kemudian saya mendoakan dua sayap mimpi saya: Yuvensius dan Merlinda.
Komentar
Posting Komentar