Langsung ke konten utama

Malam ini Ada Ujud untuk Mas Budi





Saya lupa persis ini malam ke berapa. Yang pasti, beberapa malam terakhir saya konsisten berangkat ke Katedral. Beberapa malam belakangan ketika waktu menujukkan kurang lima belas menit sebelum jam sepuluh malam saya beranjak dari kamar. Di Katedral, persisnya di bagian kiri luar altar, ada bilik. Maria menunggu di situ. Di bilik yang kurang ramai dikunjungi itu. Kita menyebut bilik itu sebagai Gua Maria. Meski tak ramai, pasti selalu ada orang yang bakar lilin kemudian khusyuk melantunkan doa di bilik itu. Dari malam ke malam selalu saja ada yang berlutut. Ada yang bahkan berdoa dan mengamini doa dengan air mata.
    

Rutinitas baru mengunjungi dan berdoa di Gua Maria yang ada di Katedral Hati Kudus Yesus saya mulai tanpa perencanaan. Ketika sedang dalam masalah, sangat jarang saya berdoa. Alih-alih berdoa, saya justru banyak mengeluh. Saya hanya akan berdoa ketika menghadiri Misa hari Minggu sore. Khusyuk sekali. Sebelum misa dan seusai misa. Ujud-ujud saya sama, mohon restu agar mimpi, perjuangan, cita-cita, segala upaya, dan kerja keras saya mendapat berkat.

            

Dalam doa saya, sering saya bicarakan kepada Tuhan kalau perjuangan saya semata-mata agar nama-Nya semakin dimuliakan. Tentu tidak lupa saya berdoa agar bapa dan mama yang sedang saya “siksa” dengan tagihan biaya kuliah selalu diberi rahmat. Diberi kesehatan saja sudah sangat cukup bagi saya. Saya, bapa dan mama percaya kalau tubuh yang sehat jauh lebih dari cukup. Toh, kesehatan selalu menjadi modal besar untuk mengais rejeki. Kalau tubuh sedang tak baik-baik bagaimana mau berjuang? Tidak untuk selamanya mengandalkan utang.

            

Malam ini saya berangkat lagi ke Gua Maria. Beberapa meter dari gerbang masuk Katedral, saya berjumpa dengan pria asing. Di bawah remang-remang lampu jalan.

            

    “Mas. Mas. Saya mau minta tolong sama sampean.” Ucap pria itu.

            

    “Ada apa mas? Apa yang bisa saya bantu?” saya merespon alakadar.

            

    “Tolong mas. Saya mau pulang ke Jogja. Dompet saya hilang. Saya datang ke sini untuk ikut interview kerja jadi satpam. Saya tidak habis pikir, interviewnya sampe kemarin malam jam 10 sejak siang. Saya butuh uang mas. Sepatu sudah saya jual. Ini saya menawarkan jaket saya sama masnya. Kalau masnya mau beli, uang itu saya pakai untuk biaya kereta kembali ke Jogja” pria asing itu memelas.


Kami saling memunggungi. Mas Budi melanjutkan perjalanan tanpa arah. Saya memantapkan langkah menuju Gua Maria.

⸺⸻


Saya tidak langsung menjawab. Lama saya terdiam. Kok bisa?

            

    “Kita ngobrol dulu mas. Duduk dulu di situ” saya tertarik untuk mengulik ceritanya.

            

Pria asing itu mengikuti ajakan saya. Kami duduk di bawah pohon di pinggir jalan menuju Katedral.

            

    “Ada apa mas? Kok bisa? Ceritanya bagaimana?” saya bermaksud mengajaknya untuk menceritakan semua.

            

    Ngene, mas. Saya ini orang asli Jogja. Datang ke Surabaya untuk nyari kerja. Kemarin siang sampai malam saya diinterview. Saya lamar jadi satpam. Karena kelelahan, saya tidur di halaman gedung tempat interview. Pas bangun paginya, dompet saya hilang. Hape saya juga hilang. Tadi saya jual sepatu saya buat beli makan. Saya orang baru di kota Surabaya ini. Saya pingin pulang, mas. Anak sama istri saya pasti nungguin. Gimana ini mas? Jaket saya dibeli ya, mas. Harganya sesuai biaya perjalanan saya ke Jogjakarta. Sekitar seratus lima puluh ribuan” pria asing itu bercerita dengan irama nafas harap-harap cemas dan logat khas Jawa.

            

    “Tenang sek, mas. Saya tidak bermaksud menceritakan kesusahan saya kemudian saya bandingkan dengan kesusahanmu. Saya mau bantu. Mau sekali. Tetapi jujur, saya tidak punya uang segitu. Saya mahasiswa di sini mas. Anak rantau dari NTT. Ini tadi saya mau ke Gua Maria. Mau berdoa. Saya lagi tekun novena akhir-akhir ini. Biaya kuliah saya mahal. Harga hidup di kota ini juga bukan main mahalnya. Sumpek mas, kepala saya. Mumet. Makanya saya novena terus. Bingung. Mau ngapain lagi”

            

    “Maaf mas. Novena itu apa? Gua Maria itu gua yang bagaimana?”

            

    “Kenalan sek, mas. Saya Apri” saya mengulurkan tangan dan mengajaknya berkenalan sebelum menjawab pertanyaannya.

            

    Nggeh, mas. Saya Budi” balasnya.

            

    “Di deket sini ada Gereja, mas. Gereja besar. Gereja pusat. Lebih dikenal dengan sebutan Katedral. Di bagian luarnya, ada Gua Maria. Saya komit untuk memperbaiki lagi hubungan saya dengan Maria Ibu Yesus. Makanya tiap malam saya datang ke gua. Lalu berdoa” saya mencoba menjelaskan.

            

    “Oalaaaaa... Masnya nasrani ya mas? Saya muslim mas” ucapnya.

            

    “Iya mas. Tuhan kita masih sama. Hanya cara kita berdoa saja yang beda” saya berusaha sedikit bijak agar tidak ada diantara kami yang tersinggung.

            

    “Maaf merepotkan sampean, mas. Silakan lanjut doanya. Saya ijin pamit ya mas” ucapnya sambil berusaha menyajikan senyum.

            

    “Jangan dulu mas. KTP ada? Asli Jogja ya mas? Di Jogja mana?” saya menahannya.

            

    “Saya asli Jogja, mas. Asli Sleman. KTP saya ada di dompet mas. Dompet yang hilang kemarin malam itu isinya SIM, STNK, KTP sama uang delapan ratus ribu rupiah. Saya datang ke sini bawa modal sejuta. Dua ratusnya sudah kepake untuk biaya makan dan biaya perjalanan. Sisanya sudah ludes semua, mas. Apesss” keluhnya.

            

    “Sebelumnya kerja apa, mas? Di Jogja ada sawah gitu? Ada kebun?” saya kembali bertanya.

            

    “Saya ini dulu satpam di perumahan Permata, mas. Pas pandemi kemarin saya kena PHK. Lalu saya buka usaha dengan modal seadanya. Jualan gorengan di daerah pasar burung Sleman. Sawah gak ada, mas. Kebun ada. Kebun kecil belakang rumah. Kecil mas, kebunnya. Kecil banget”

            

Mendengar jawabannya, saya terdiam. Memikirkan bagaimana saya harus membantunya.

            

    “Saya lanjut dulu, mas. Pamit dulu ya” pria dengan ciri fisik khas orang Jawa itu memecah keheningan.

            

    “Ke mana mas?” saya membalasnya.


    Mboh, mas. Gak tau ke mana. Wes, pokoke jalan. Nanti ada orang baik yang bantu. Semoga aja” ia berkata sambil mengupayakan senyum yang lagi-lagi mengisyaratkan kecemasan.

            

    “Saya mau sekali bantu mas. Percuma rasanya saya rutin doa tiap malam kalau tidak membantu sesama. Tetapi itu tadi. Saya gak punya uang segitu. Hati-hati ya mas. Mas Budi, malam ini ada ujud untuk Mas Budi. Banyak sabar mas. Orang baik ada. Pasti. Tetapi tidak tau di mana keberadaannya. Seng sabar ae yo mas” saya berkata demikian dengan logat khas Indonesia Timur tetapi dengan kosakata bahasa Jawa.


Kami saling memunggungi. Mas Budi melanjutkan perjalanan tanpa arah. Saya memantapkan langkah menuju Gua Maria. Sepanjang perjalanan hingga tiba di gua pikiran saya tidak tenang. Mungkinkah itu Yesus yang sedang mencari tumpangan?


Sesampai di gua ada perempuan bergaun merah duduk di bangku paling depan. Paling dekat dengan Patung Maria. Perempuan itu menangis. Entah karena apa. Tangisannya melahirkan puisi yang adalah ujud saya malam itu:

 

Maria, aku sudah berhenti menyebut nama sendiri dalam tiap-tiap ujud

Di perjalanan tadi aku berpapasan dengan orang asing

Aku berdoa untuknya.

 

Aku mendoakan perempuan manis yang menangis di hadapanmu

Aku tidak tahu apa yang sedang berperang di kepalanya

Tetapi,

Amin.

 

            Kemudian saya mendoakan dua sayap mimpi saya: Yuvensius dan Merlinda. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...