Langsung ke konten utama

Belajar Banyak dari Mama

            


            Saya selalu bangga setiap kali mengatakan “mama saya seorang guru” sekalipun hingga hari ini gaji guru begitu-begitu saja. Bukan semata soal gaji. Toh, mama baru saja sukses melewati seleksi menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau yang biasa disebut P3K. Beliau bercerita kalau gajinya sekarang jauh lebih baik. Lagi-lagi bukan soal gaji. Saya bangga karena tugas guru sungguh terlalu mulia. Semua orang mengakui itu. Kata orang, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Saya bangga sekali menjadi anak pahlawan tanpa tanda jasa.
            Saya belajar banyak dari mama terutama ketika saya mengikuti program Kampus Mengajar yang diadakan oleh KEMDIKBUDRISTEK. Program itu sedang berlangsung hingga Juni nanti. Saya sekarang selain sebagai mahasiswa juga adalah seorang guru di SMP Bina Karya yang lokasinya berada di daerah pinggiran Surabaya. Ternyata mengajar tidak mudah. Saya merasakannya sendiri. Sudah sekitar seminggu saya keluar masuk dari satu kelas ke kelas lain di SMP tempat saya mengajar.
            Perkara menyampaikan penjelasan agar benar-benar mampu dipahami oleh peserta didik sejatinya memang bukan perkara mudah. Yang mudah hanya ketika membayangkannya saja. Pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. Lelah tentu saja. Betapa tidak, di dalam kelas kadang saya harus berhadapan dengan siswa yang motivasi belajarnya sangat rendah. Yang kebiasaannya mengganggu barisan anak alim di deretan bangku paling depan. Kadang juga saya menjumpai siswi yang sedang dalam masa pertumbuhan (baca: puber) yang selalu berusaha mendapatkan nomor WhatsApp serta username instagram saya. Menyikapi kejadian-kejadian seperti itu dan beberapa kejadian lainnya cukup menguras tenaga.
            Saya sering kewalahan ketika di kelas. Tetapi yang sangat saya apresiasi dari diri adalah kemampuan mengendalikan emosi. Menyikapi semua sebagaimana mestinya. Selalu sabar dan jarang marah. Selalu saya perbanyak senyum dan tawa bahkan ketika saya sedang marah. Puji Tuhan hingga hari ini (dan seterusnya) tidak ada siswa yang saya bentak, apalagi saya hukum sebagaimana dilakukan oleh umumnya guru. Saya mau mengatakan kalau saya belajar sabar dari mama. Mama guru yang baik, setidaknya bagi saya dan adik-adik saya dan tentu juga bagi keluarga kami.

Perkara menyampaikan penjelasan agar benar-benar mampu dipahami oleh peserta didik sejatinya memang bukan perkara mudah.
⸺⸻ 

            Cara mama mengendalikan emosi benar-benar menjadi pengalaman berharga yang tidak saya dapat selama saya duduk di bangku pendidikan. Mama telah menjadi great teacher yang tidak banyak bicara tetapi banyak berbuat. Mama jarang melarang kami berjalan di kiri karena di kiri ada duri. Dengan sendirinya mama akan berjalan di kanan. Lalu kami mengikutinya dan selama itu juga kami terhindar dari duri-duri tajam di perjalanan.
            Sejak merantau, saya merindukan kelakar-kelakarnya. Seusai makan siang, ketika beliau pulang sekolah, ada-ada saja cerita lucu yang disajikannya di meja makan. Cerita soal muridnya yang kocak-kocak. Kami terbahak mendengar itu semua. Beberapa waktu lalu saya mengabari mama kalau saya sekarang jadi guru. Mama bahagia mendengar anaknya tidak saja fokus kuliah tetapi juga berusaha membentuk karakter. Mama tidak menyampaikan pesan apa-apa selain “de di’a nana. Molor koe ajar”*. Setelahnya mama meminta saya merapikan rambut saya yang sempat saya upayakan untuk dibiarkan panjang. Kata mama, jangan jadi guru gondrong nanti murid juga ikut gondong sehingga jadinya tidak rapi.
            Saya belajar banyak hal dari mama. Bukan saja belajar jadi lebih tabah. Ma, banyak yang bertanya perempuan seperti apa yang saya cintai untuk kemudian saya jadikan kekasih. Saya mau bilang kalau saya hanya akan mencintai perempuan yang terlebih dahulu mencintai saya kemudian mengajarkan saya bagaimana saya harus mencintainya. Seperti mama. Ketika masih belum apa-apa. Saya tidak mencintai mama. Tetapi mama justru mencintai saya dalam-dalam. Tanpa mama sadar, sesungguhnya mama tengah mengajarkan kepada saya bagaimana saya harus mencintai mama. Saya selalu baik-baik saja karena ujud-ujud mama dari malam ke malam. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...