Langsung ke konten utama

Rencana Pengakuan Dosa

 

Sumber ilustrasi: Canva.


        Hari Minggu kemarin (17/03/24), saya kembali menghadiri perayaan ekaristi di Katedral Hati Kudus Yesus. Rencana awal saya mengikuti perayaan ekaristi pukul 16.30 WIB. Saya memiliki kebiasaan siesta dan sebelum ke Katedral, saya menyempatkan diri untuk siesta terlebih dahulu. Entah setan apa yang merasuk, saya kebablasan dan terbangun tepat dua puluh menit sebelum perayaan dimulai. Sejenak saya menimbang, apakah lekas mempersiapkan diri lalu tetap ngotot mengikuti perayaan atau menunda saja. Selang beberapa menit, saya memutuskan untuk menunda saja. Bukan menunda ke Minggu berikut tetapi menunda beberapa jam.

            Keputusan itu tentu bukan tanpa alasan. Kecenderungan saya yakni tidak nyaman jika tergesa-gesa menyiapkan diri, entah untuk urusan apapun. Saya punya kebiasaan buruk dari mulai mandi lama hingga beres-beres lama. Belum lagi lama berdiri di luar kamar hanya untuk mengingat-ingat apakah ada yang ketinggalan atau tidak. Pada banyak keberangkatan, seringkali ada barang yang harusnya saya bawa serta tetapi malah ketinggalan. Yang paling sering ketinggalan adalah telepon genggam.

            Jadwal misa terakhir yakni pukul 18.30 WIB. Tentu saja selesainya malam. Dan saya memilih untuk mengikuti misa di jadwal itu. Setidaknya ada banyak waktu bagi saya untuk menyiapkan diri tanpa perlu tergesa-gesa. Sebelum perayaan dimulai, layar di dalam Katedral menampilkan jadwal pengakuan dosa sebelum perayaan Paskah. Melihat itu, saya komit untuk mengikuti ibadat pengakuan dosa.

            Katedral Hati Kudus Yesus mengadakan pelayanan ibadat tobat dan pengakuan dosa selama tiga hari berturut-turut, sejak tanggal 18 hingga 20 Maret. Awalnya saya berencana mengikuti ibadat tobat pada tanggal 18. Rencana itu batal lantaran sehabis kuliah, saya kelelahan dan memilih untuk sejenak istirahat. Namanya bukan lagi tidur siang tetapi tidur sore. Saya terbangun pukul sembilan malam. Jadwal pengakuan hanya dari pukul 18.00-20.00 WIB. Sadar bahwa sudah tidak ada waktu lagi untuk mengikuti ibadat tobat, saya lalu bergegas mandi kemudian lanjut garap beberapa tulisan yang terbengkalai.

            Tanggal 19 Maret (hari kedua jadwal pengakuan) lagi-lagi saya batal hadir di Katedral untuk mengaku dosa, menyiapkan diri sebelum perayaan Paskah.  Ceritanya bukan lagi karena saya tidur lalu kebablasan. Seusai mandi (tentu saja sebangun tidur siang), saya lagi-lagi berkutat dengan laptop di meja belajar yang tampak tak rapi sebab buku-buku dan gelas bekas minum kopi dibiarkan begitu saja di meja itu. Ketika asyik menulis, ada pesan masuk dari kawan saya.

            “Kess, ayo ke warkop. Ada cerita niii. Gak sibuk kan?” bunyi pesan dari kawan saya via WhatsApp. Saya jadi sadar kalau belakangan saya jarang sekali nongkrong lalu ngobrol dengan kawan-kawan saya. Memang, semakin ke sini semakin besar tuntutan kuliah. Saya sibuk dengan urusan Kampus Mengajar sementara mereka sibuk dengan tugas-tugas kuliah. Harus benar-benar serius agar semua baik-baik saja.

            “Gassskaann. Tapi saya makan dulu” saya membalas singkat.

            “Okee kess. Ntar kabarin. Aku jemput sekalian” balasnya lagi.

            Tak lama setelahnya dia nongol di gerbang kosan. Kami lalu berangkat ke warkop. Saya sama sekali lupa kalau seharusnya saya hadir di Katedral dan mengikuti ibadat tobat. Di warkop, kami menceritakan banyak hal. Saya kaget ketika tiba-tiba saya dirangkul oleh seorang kawan saya.

            “Kessss, aku gak liat kamu di sini selama ini” teriaknya bahagia sambil dengan erat sekali dia merangkul tubuh saya yang tampak seperti kerangka berjalan saking kurusnya.

            “Lhooooo, kesss. Saya jadi kaget. Hahahaha” saya berkata sambil merangkulnya juga.

            “Gimana kess? Urusan aman kah? Jadi guru enak kah?” dia tampak bersemangat menanyakan pengalaman saya selama mengikuti program Kampus Mengajar. Selanjutnya kami bercerita. Saya pulang ketika malam sudah larut sekali. Padahal besoknya saya harus berangkat mengajar pagi-pagi sekali. Ketika tiba di kamar, saya langsung merebahkan tubuh di kasur lalu mulai memanggil kembali kenangan-kenangan hari tadi. Memang, saya memiliki kebiasaan menikmati kenangan sekali sebelum tidur. Saya begitu kaget ketika sadar bahwa hari ini harusnya saya mengikuti ibadat tobat. Sudah tengah malam. Ibadat tobat sudah selesai sekitar empat bahkan lima jam yang lalu. Lagi-lagi batal.


Lalu saya membuka WhatsApp dan mengirim puisi ke diri sendiri

⸺⸻


            Tidak ada pilihan lain. Hanya tersisa satu hari saja. Mau tidak mau saya mengikuti ibadat tobat di hari terakhir (Rabu 20/03/2024). Puji Tuhan tidak ada cerita buruk. Tidak ada batal-batal lagi. Saya hadir di Katedral setelah menyiapkan diri secara baik, termasuk menyiapkan list dosa-dosa yang telah saya perbuat. Terharu sekali ketika di Katedral saya mendapati banyak orang sedang antri di sebelah ruang pengakuan dosa. Setelah berdoa, saya lalu memeriksa batin.

            Tak lama berselang, ketika sedang khusyuk memeriksa batin sambil berdoa dalam hati, saya merasa terganggu dengan kehadiran beberapa anak muda yang usianya tak jauh di atas saya. Sekira hanya beda dua hingga lima tahunan saja. Entah apa yang mereka bicarakan. Tetapi jujur, mereka berisik. Sangat mengganggu yang lain. Dan yang bikin saya merasa miris, mereka bicara dalam dialek Manggarai. Bisa ditebak, tempat asal mereka pasti dari Manggarai yang adalah tempat asal saya juga.

            Satu per satu orang-orang yang mengantri maju. Bangku di depan saya mulai kosong. Saya maju dan mengisi bangku panjang yang kosong itu. Tiba-tiba seorang perempuan yang juga sedang mengantri duduk tepat di sebelah saya. Tentu saja saya tidak begitu peduli sebab saya tidak mengenalnya.

            “Ini bagus” perempuan itu berbisik ke telinga saya sambil menunjuk tas asli Dayak pemberian teman saya.

            “Iya? Kenapa?” saya membalas ramah, pura-pura tidak mendengar bisikannya bukan supaya dia kembali berbisik tetapi agar saya tidak kelihatan kaku.

            “Ini tasnya bagus sekali” lagi ia berbisik.

            “Terima kasih. Ini tas pemberian teman saya. Ini tas adat Dayak tetapi saya bukan Dayak. Saya NTT” saya membalas sambil berusaha tersenyum seramah mungkin.

            “Sama. Saya juga orang NTT” ucapnya. Sesuai tebakan saya, perempuan ini pasti orang NTT.

            “NTT mana?” ia kembali bertanya.

            “Saya orang Manggarai” jawab saya singkat.

            “Sama lagi. Saya juga Manggarai” perempuan itu berkata sambil tetap berbisik. Suaranya nyaris tak terdengar. Kalau ia tidak mendekatkan mulutnya ke telinga saya, tidak mungkin saya bisa mendengarnya.

            “Ite Manggarai nia?” giliran saya yang bertanya. Saya memilih bertanya dalam bahasa Manggarai sebab saya rindu sekali bahasa ibu.

            “Manggarai Timur ee” bisiknya menjawab. Lalu saya mengangguk-anggukan kepala. Mengisyaratkan bahwa saya memang tahu Manggarai Timur sekalipun hanya beberapa wilayah tertentu saja. Termasuk tempat asal kekasih saya dulu. Selanjutnya tidak ada lagi pembicaraan. Perlahan saya bergerak ke bangku yang di depan saya. Jujur saja, saya tidak ingin pembicaraan itu berlanjut. Risih.

            Sementara masih mengantri, seorang perempuan lainnya yang kemungkinan besar adalah teman dari perempuan yang tadi berbicara dengan saya, mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Lalu mereka selfie dan lagi-lagi menciptakan keributan walau bukan keributan besar. Melihat itu, saya tak kuasa menahan diri untuk tidak mengambil ponsel dari dalam tas pemberian teman saya. Lalu saya membuka WhatsApp dan mengirim puisi ke diri sendiri:

Di dalam ruang pengakuan kita bicara empat mata

Tetapi aku (kami) masih sungkan menyebut semua dosa yang justru Kau tahu dosa-dosa itu.

 

Ampunilah aku (kami) yang dengan sengaja tidak mengingat sebagian dosa-dosa.

           

            Entah mengapa saya yakin sekali kalau di ruang pengakuan, saya dan perempuan-perempuan yang sedang bersolek di hadapan layar ponsel (atau bahkan semua yang ikut pengakuan) pasti tidak menyebut semua dosa-dosa kami. Bisa jadi karena malu. Bisa jadi juga karena memang lupa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...