Setelah beredar kabar terkait kasus perselingkuhan yang menimpa Pastor Paroki Kisol, muncul setidaknya dua klarifikasi. Catatan klarifikasi itu masing-masing datang dari pihak yang sedang dalam masalah. Pertama datang dari Gusti (berat bagi saya untuk menyebutnya romo) kemudian menyusul surat klarifikasi resmi yang ditandatangani di atas materai dari Valentinus. Saya kira suami mana pun akan marah apabila mendapati istrinya “menghangatkan” tubuh dalam satu selimut dengan Pastor. Tulisan ini hanya curahan hati seorang “domba” yang sangat menyayangkan gembalanya bersikap gegabah.
Di kepala saya muncul banyak pertanyaan ketika klarifikasi pertama (dari Gusti) muncul. Pada poin ke empat belas dalam surat klarifikasinya, disebutkan bahwa ketika tiba di tengah jalan ia dihubungi Hermin (Mama Sindi). Karena memikirkan keselamatan Hermin, Gusti beserta orang-orang yang satu mobil dengannya kembali ke rumah Valentinus dan menjemput Hermin. Pertanyaannya, kenapa bisa semudah itu bagi mereka untuk menjemput Hermin? Bukankah Hermin sedang adu mulut dengan suaminya sampai-sampai suami mengancam untuk membunuh si istri?
Bukan itu
saja. Demi keselamatan dirinya dan karyawan pastoran, mereka memutuskan untuk
meninggalkan Kota Borong. Hal ini disampaikan dalam surat klarifikasi pada poin
ke lima belas. Lagi-lagi muncul pertanyaan, bukankah kalian akan aman-aman saja
sekalipun kalian tidak keluar dari Kota Borong? Toh, masalahnya bukan dengan
kalian tetapi antara suami dengan istri. Mengapa Valentinus dirasa membahayakan
keselamatan sementara kalian sama sekali tidak punya masalah dengannya? Tindakan
keluar dari Kota Borong untuk menyelamatkan diri menyiratkan kalau ada diantara
kalian yang menjadi pemicu masalah. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat saya
curiga dan ragu-ragu dengan kebenaran surat klarifikasi Gusti.
Kecurigaan
saya nyatanya memang benar adanya. Setelah membaca surat klarifikasi Valentinus
yang ditulis sesuai dengan fakta atau kejadian yang terjadi tanpa paksaan dan intervensi
dari pihak mana pun, saya bersyukur karena tidak langsung percaya dengan surat
klarifikasi Gusti. Tak lama setelahnya, floresa.co memublikasikan berita
terkait kasus itu. Floresa, media lokal yang selalu menyajikan informasi secara
cermat lagi-lagi secara cermat menyampaikan kebenaran. Media ini berhasil
mendapatkan informasi dari pejabat internal Keuskupan Ruteng dan pejabat
internal itu menyampaikan kalau dalam pembicaraan dengan otoritas Gereja, Gusti
memang tidak membantah semua tuduhan laporan Valentinus (Floresa.co,
29/04/2024).
Muara Gegabah
Sikap Gusti yang tidak membantah laporan Valentinus dalam pembicaraan dengan otoritas Gereja tidak selaras dengan sikap yang ditunjukkannya ke publik. Kepada publik Gusti membuat klarifikasi yang seolah menunjukkan kalau dirinya tidak bersalah. Seolah pemberitaan media yang menyebut dirinya tidur satu selimut dengan istri orang adalah informasi yang tidak benar. Pada titik ini, Gusti tidak begitu cakap dalam mengelola atau yang dalam ilmu public relation disebut manajemen krisis/konflik.
Sebuah krisis/konflik jika tidak di-manage secara baik maka akan menjadi blunder fatal. Dalam mengelola krisis/konflik, berlaku pepatah bijak “kebenaran memang kadang sangat menyakitkan”. Sangat disayangkan, Gusti justru membuat klarifikasi yang menyesatkan sekaligus menjadi blunder bagi dirinya juga bagi pihak keuskupan. Gusti memilih membohongi umat Allah demi menghindari kebenaran yang dirasanya sangat menyakitkan. Bayangkan betapa dalamnya kekecewaan yang dirasakan oleh banyak pihak, dari mulai umat Keuskupan Ruteng, para pastor, biarawan/biarawati, calon pastor, apalagi Valentinus serta keluarganya.
Semakin sulit memaafkan Gusti.
⸺⸻
Andai kata
Gusti tidak gegabah, harusnya ia menulis surat dan isi surat itu adalah pengakuan
bersalah serta permintaan maaf, bukan klarifikasi yang justru jadi blunder. Saya
membayangkan Gusti menulis surat yang isinya membenarkan laporan Valentinus;
bahwa ia memang tidur seranjang bahkan satu selimut dengan istri Valentinus. Saya
membayangkan akan sangat bijak jika di dalam surat itu juga Gusti menuliskan
kalau dirinya bersedia menanggung segala resiko serta sanksi yang memang harus
ditanggungnya sebagai akibat dari perbuatannya. Saya membayangkan pada surat
yang sama juga Gusti secara rendah hati meminta maaf kepada banyak orang,
utamanya kepada Valentinus sekeluarga. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya,
Gusti gegabah dan muara dari sikap gegabah itu ialah kekecewaan mendalam dalam
diri banyak pihak.
Ketika
sedang serius membaca surat klarifikasi dari Valentinus, mantan kekasih saya
mengirim pesan singkat di whatsapp. “Tanggapan kasus Mama Sindi dulu” begitu
bunyi pesan itu. Tanpa ragu segera saya menjawab bahwa perselingkuhan itu
memang benar terjadi. Gusti yang adalah seorang romo memang benar tidur satu
selimut dengan istri orang. Saya paham betul kalau mantan kekasih saya itu
sedang mencari kebenaran. Rasanya memang begitu perih ketika mengatakan
kebenaran, tetapi itu pilihan yang bijak ketimbang memilih bersikap seperti Gusti:
membuat klarifikasi yang justru keliru.
Setelah saya
mengatakan kebenaran informasinya, mantan kekasih saya lagi-lagi mengirim pesan
balasan:
“Tidak habis pikir. Kecewa eh! Padahal awalnya saya
percaya klarifikasi yang dari romo. Padahal itu salah”
Kekecewaan yang sama juga saya rasakan. Pasti dirasakan juga oleh banyak orang. Semakin sulit memaafkan Gusti. Sebagai “domba” yang sedang berusaha tidak tersesat, saya berharap semoga tidak muncul Gusti-gusti berikutnya di keuskupan kami. Amin.
Komentar
Posting Komentar