Langsung ke konten utama

Mendaki Pundak


Setelah lama hanya menjadi wacana, keinginan mendaki akhirnya terwujud. Kami meninggalkan riuh rendah Kota Pahlawan dan sejenak menepi ke alam. Tanggal delapan belas Januari kami mendaki Gunung Pundak yang terletak di daerah Mojokerto, Jawa Timur. Kami berangkat dalam rombongan kecil berjumlah empat orang. Pagi hari, sekitar pukul lima lebih beberapa menit kami berangkat dari daerah Sidoarjo. Dengan menggunakan kendaraan roda dua, perjalanan menuju titik awal pendakian Gunung Pundak ditempuh dalam waktu dua jam lebih. 


Selama dalam perjalanan menuju lokasi, saya dan seorang kawan saya asyik membincangkan keindahan lanskap alam. Kontur alam yang kami lewati tidak saja menyajikan pemandangan indah tetapi juga menantang nyali. Di beberapa titik, kelok jalan memang begitu curam. Itu menjadi alasan mengapa kami memutuskan untuk berjalan dengan sangat hati-hati. Kendaraan roda dua yang kami gunakan sengaja dipelankan kecepatannya ketika tiba di titik-titik tertentu. Kadang, kecepatan juga diturunkan agar kami bisa sedikit lebih lama menikmati pemandangan alam yang sudah tentu terlalu indah.

            Kes, saya merasa seperti sedang berjalan di daerah asal saya, NTT” saya memulai pembicaraan setelah sebelumnya asyik menikmati perjalanan.

            “NTT seperti ini kah, kes?” kawan saya, Josa yang ketika berangkat menjadi ‘driver’ dengan sigap merespon pembicaraan.

            “Iya. Persis kes. Jalan berkelok-kelok, naik turun trus di kiri dan kanan jalan tanaman jagung tumbuh subur. Fiksss, ini seperti di NTT” lagi saya menjawab.

            “Kapan-kapan kita ke NTT, kess” lanjut Josa.

            “Bolehhh tuhh. Ayoookk kapan-kapan” saya membalas singkat.


Masih dengan sangat hati-hati, Josa menuntun ‘kuda besi’ yang kami gunakan. Dalam hati, saya terus mengucap doa agar perjalanan berlangsung aman. Apalagi Januari masih musim hujan. Setidaknya agar motor tidak rewel, jauh dari celaka dan direstui semesta sehingga benar-benar terhindar dari bencana. Perjalanan terus berlanjut. Panorama alam semakin indah seiring semakin jauhnya perjalanan kami. Saya merasa seperti sedang berjalan di jalan yang pinggir-pinggirnya dihiasi mahakarya pelukis ternama. Berkali-kali saya berdecak kagum.


Kami mulai terpisah dengan dua kawan lain yang ketika itu mengendarai sepeda motor juga. Kami mulai panik sebab sejak berangkat, dua kawan kami itu adalah penunjuk jalan. Mau tidak mau ‘kuda besi’ dipacu sedikit lebih kencang. Sementara rumah-rumah di pinggir jalan yang tadinya berdekatan sudah mulai berjarak. Ini akan repot andaikata kami benar-benar terpisah. Laju kendaraan kini kian kencang. Dari kejauhan saya melihat sosok seperti dua kawan kami berjalan mendekat. Mereka mengendarai sepeda motor. Melihat hal itu, Josa menurunkan kecepatan. Berusaha memastikan apa benar mereka adalah Dhani dan Calvin (yang biasa kami sapa Sinyo). Tebakan kami tidak meleset. Kedua pengendara sepeda motor merk Vario itu memang kawan kami, Dhani dan Sinyo.

            “Cokkkkk, salah jalan. Belokannya kelewat. Hahahaha” ucap Dhani setelah Sinyo menghentikan kendaraannya di dekat kami.

            “Lhooo lhoooooo. Kok isok eee” balas Josa singkat.

            “Embohhh coook. Sinyo iki lhoooo. Hahaha” ujar Dhani.

            “Lhoooo apikkkkk. Kok akuu” Sinyo singkat membalas dengan nada sedikit protes.

            “Ayoooo eeee. Gimana ini kes-kesku” saya berkata setelah selama beberapa menit kami menertawakan kekonyolan perjalanan itu.

            “Ayo Jos. Puter balik. Ntar ngiri (belok kiri) kalo udah sampe di bawah sana” ajak Dhani.


Setelah mengecek rute, nyatanya si ibu memang benar. Kami salah jalan.

⸺⸻

Kami tiba di lokasi pendakian sekitar pukul delapan pagi. Kami tidak langsung mendaki tetapi memutuskan untuk menunggu dua kawan lainnya. Selama lebih kurang sejam kami menunggu. Selanjutnya kami mendaki setelah mengurus semua tiket pendakian.

            “Oiiiii, gimana iniii. Aturannya pendaki harus make sepatu. Ini punyaku bukan sepatu tapi sandal ke Gereja, hahahaha”

            Mendengar saya berkata demikian, Dhani sigap membalas sambil terkekeh.

            “Aissshhhh losssss. Gak ngurus kes. Jalan aja”


Pendakian kini benar-benar dimulai. Josa menyetel Spotify di telepon genggamnya yang tehubung ke speaker bluetooth. Lagu Tulus yang merdu menemani perjalanan pendakian kami. Sekitar ratusan meter dari lokasi berangkat, ujug-ujug suara seorang ibu membuat langkah kami terhenti.

            “Masss-massss, itu kalian mau ke mana?” teriak si ibu.

            “Ndaki Pundak, bu” balas Dhani tanpa merasa ada sesuatu yang tidak beres.

            “Lhooooo. Kok ke sana. Arahnya bukan ke sana. Itu jalan ke air terjun. Kalo ke Pundak lewat depan sini” dari kejauhan si ibu menjelaskan.

            “Lhooooo, salah jalan lagi ini. Hahahaha” ucap Josa sambil tertawa.


Ketika itu kertas yang berisi petunjuk (rute pendakian) ada di tangan saya. Sama sekali saya tidak melihat rute, tetapi mengandalkan rasa percaya diri dalam memilih jalan. Setelah mengecek rute, nyatanya si ibu memang benar. Kami salah jalan. Harusnya tadi tidak mengambil arah kanan. Tetapi lurus saja.

            “Awal yang buruk. Belum apa-apa udah kesasar. Hahahaha” yang lain turut terbahak mendengar kalimat yang saya ucapkan  itu. Selanjutnya saya dengan sangat teliti melihat rute. Semakin rajin saya melihat rute, memastikan apa benar perjalanan kami masih di alur yang pas. Tentu kami tidak ingin kembali nyasar. Kami memelankan langkah ketika Sinyo mulai ngos-ngosan. Dhani juga kelihatan mulai kesulitan mengatur nafas.

            Alon-alon cook. Baru ndaki lagi. Terakhir mungkin pas masih SMP” Dhani memulai pembicaraan di sela-sela syahdu suara alam. Saya dan Josa yang bertampang kurus (nyaris kelihatan seperti kerangka berjalan) masih sangat berapi-api untuk mendaki. Maklum, bobot tubuh kami terlampau ringan ketimbang Sinyo dan Dhani yang memang jauh lebih besar.




            “Wuihhhh... Itu ada Tupai” Josa berkata sambil mengarahkan kamera telepon genggamnya ke arah Tupai di pepohonan yang tak jauh dari tempat kami beristirahat.

            “Ngomong-ngomong soal Tupai, saya jadi ingat pepatah”

            “Gimana itu kess?” ucap Josa menyambar pembicaraan saya.

            “Sepandai-pandainya Tupai melompat, tetap habis jatuh ia akan melompat lagi” saya berkata demikian sambil berharap mereka memahami jokes receh itu. Saya penyuka jokes-jokes receh. Jokes bapak-bapak. Kawan-kawan saya nyatanya memang punya selera jokes yang sama. Mereka terbahak. Mendadak lagu yang disetel Josa berhenti bernada. Kami sudah berada di ketinggian yang entah berapa. Di ketinggian itu jaringan telepon mulai hilang setelah sebelumnya hilang muncul (seperti kamu). Perjalanan terus berlanjut ditemani suara alam. Nyanyian burung-burung di pepohonan besar menjadi pengiring langkah hingga mencapai puncak.


Di puncak, kami mendapati sekelompok orang muda sedang menghabiskan jajanan tepat di depan tenda yang telah mereka bangun. Kami mencapai puncak setelah dua jam perjalanan. Setelah sejenak beristirahat, kami mulai menjelajah puncak. Kekonyolan lain yang kami lakukan ketika pendakian itu ialah minimnya persiapan logistik, utamanya makanan ringan. Hanya Dhani dan Sinyo yang membawa makanan ringan di career. Sementara saya dan Josa sama sekali tidak. Alih-alih isinya makanan ringan, tas yang di pundak saya justru padat oleh perlengkapan obat-obatan. Saya mencemaskan kaki kanan saya yang konon sempat tersobek. Makanya isi tas penuh oleh obat-obatan. Dari mulai pembersih luka hingga Hot in Cream. Sementara Josa, isi tasnya adalah kopi sachet. Kopinya ada tetapi air plus kompor untuk memanaskan air tidak ada. Makanan ringan yang dibawa Sinyo dan Dhani tak butuh waktu lama untuk dihabiskan. Setelahnya benar-benar tidak ada apa-apa lagi yang bisa disantap. Kami mengabadikan momen di puncak itu dengan berswafoto sebanyak mungkin. Kabut lalu datang. Puncak mendadak penuh kabut. Masing-masing kami nyaris tak bisa saling lihat keberadaan. Kabut berlalu hujan kemudian turun.

            “Cukara’a hujan. Aku gak bawa jas hujan cuyyyy” saya menggerutu sementara Josa dan Dhani sibuk mengeluarkan jas hujan dari dalam tas kemudian mengenakannya. 


Sinyo ternyata senasib dengan saya. Ia juga tidak menyiapkan jas hujan karena yakin bahwa perjalanan kami akan baik-baik saja. Saya dan Sinyo kuat-kuatan menahan dingin yang menggigit. Tentu Sinyo tak begitu kesusahan karena lemak tubuh setidaknya membantu. Sementara saya, dingin dirasa hingga sum-sum tulang. Konyol sekali, tubuh kurus kering lalu berusaha adu kuat dengan dingin. Bayangkan seperti apa derita saya ketika itu. Satu yang pasti, saya tetap menikmati. Kami kembali turun ketika hujan reda. Berkali-kali saya terbahak melihat adegan ‘banting-banting’ selama perjalanan turun. Sinyo berkali-kali terjatuh dan selama itu juga saya tak kuasa menahan tawa. Padahal menertawakan kawan yang terjatuh adalah pantang dalam sebuah pendakian. Tetapi memang saya tidak terlatih menahan tawa.


Perjalanan ke alam selalu menjadi perjalanan yang menyenangkan. Tak dapat dimungkiri, perjalanan ke alam memang selalu meninggalkan kesan tersendiri. Kenangan-kenangan sejak keberangkatan hingga akhirnya kembali pulang sudah pasti meninggalkan jejak yang mendalam. Kami tiba di Sidoarjo (tempat kami berangkat), di rumah Dhani ketika malam hampir matang. Sepanjang perjalanan pulang saya menjadi driver yang harap-harap cemas. Josa, kawan saya yang ketika pulang pindah posisi menjadi penumpang, berkali-kali hampir terjatuh karena kantuk. Saya tetap ngebut sebab jika jalan pelan, penumpang akan semakin mengantuk. Bahkan bisa ngorok di perjalanan.


Kami akan mendaki lagi nanti.

Komentar

  1. infoo proker pendakian lagi ini eee🤣🔥

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayooooooo. Saya penasaran mendaki malam kessss hahahaha

      Hapus
    2. woiiyy bolehh tuuhhh, cari sunrise kitaa

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eleana

Aku sudah tidak tahu lagi Eleana sekarang sedang apa. Aku tidak lagi mendapat kabar darinya perihal saat ini ia sedang bersama siapa dan sedang menyelesaikan apa. Aku sudah tak lagi mengetahui urusan remeh temeh yang dilakukan Eleana. Padahal kami dulu akrab sekali. Bahkan aku pernah menulis puisi untuknya soal kedekatan kami. Bait terakhir dari puisi itu kira-kira seperti ini: “Kita semakin tak beda dengan semoga dan amin Kau semoga aku amin; atau sebaliknya Tetapi yang pasti tidak ada semoga yang sempurna tanpa amin” Sekarang masing-masing kami bersikeras menahan dera-dera kenyataan. Menghindari perjumpaan empat mata (memang kami tidak akan pernah berjumpa lagi) sambil tetap membiarkan sebagian dari diri berubah pelan-pelan. Menata bagian dari diri yang berantakan tanpa memaksakan apa yang sudah jadi urusan semesta. ***  Aku tidak mungkin salah ingat. Dulu, ketika masih dalam masa kuliah, Eleana paling sering menemani aku ke Gramedia. Sekalipun berjam-jam, ia selalu bersedia menu...

Memahami Air Mata Nai

Siapa sangka, Nai, gadis yang masih sungguh belia itu ternyata menyimpan masalah besar. Ia mencemaskan masalah-masalah yang tak biasa yang sebenarnya tidak untuk dicemaskan oleh gadis cilik berusia tujuh tahunan seperti Nai. Tetapi kenyataan tidak untuk ditolak atau diteriaki semampu. Di mana-mana kenyataan selalu untuk diterima. Entah semenyakitkan apapun itu. Nai terlahir sebagai anak tunggal. Ia gadis cantik yang tak banyak bicara. Nai suka diam. Padahal anak-anak seumurannya paling suka bercerita. Paling suka bermain-main sepanjang hari. Tanpa peduli betapa panas matahari membakar habis hari. Nai memang beda dengan anak-anak lainnya. Ia sangat pemalu. Mungkin selama ini kau sering melihat Nai menangis. Aku juga begitu. Ketika kebetulan lewat di luar gubuk tempat tinggalnya, seringkali aku melihat Nai duduk sendiri. Di sudut dekat rerimbun pohon pandan. Di sudut situ, Nai sering menangis sendiri. Ketika Naca ibunya belum pulang berkebun. Bukan di kebun sendiri. Tetapi menjadi buruh ...

Air Mata Bahagia Mama Rosalina

Suara Mama Rosalina mulai bergetar. Matanya tampak berkaca-kaca. Meski mengenakan kaca mata tetapi sama sekali air matanya masih sangat kentara. “No, Kita orang timur ini hanya modal sebagai PNS untuk menyekolahkan anak. Gaji PNS tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa sekarang. Tapi puji Tuhan, No keterbatasan itu sama sekali tidak pernah membuat mimpi tak tercapai” kata Mama Rosalina dengan logat khas Larantuka. Saya bersyukur sekali ketika mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Mama Rosalina. Kami bertemu dalam acara Farewell Party yang diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Dalam acara itu, saya hadir sebagai jurnalis Lensafikom.com yang tengah meliput jalannya acara dan Mama Rosalina adalah orang tua dari mahasiswi asal Larantuka, NTT. Farewell Party merupakan acara perpisahan dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi angkatan 2019 yang diwisuda pada Sabtu, 18 Maret 2023. Farewell Party diadakan pada...